Oleh:M. Rizal Fadillah
SESEORANG diborgol itu agar ia tidak bisa bebas untuk menggunakan tangannya baik memukul atau mengambil sesuatu, senjata misalnya. Agar dapat menahan kebebasan bergerak lebih jauh bisa ditambah dengan borgol pada kedua kakinya. Sebagaimana tampilan masa penjajahan atau perbudakan dahulu.
Kini tahanan berborgol dipamerkan, artinya jadi tontonan dan pelajaran. Bisa dimaksudkan untuk menistakan atau membuat efek jera bagi yang lain. Kasus politik lebih kental nuansa memenangkan kekuasaan melalui aparat hukum dengan mengalahkan pesakitan yang melawan kekuasaan. Borgol adalah simbol membuat tidak berdaya.
Kasus tiga tokoh KAMI Syahganda Nainggolan, Anton Permana, dan Jumhur Hidayat yang ditampilkan bersama tokoh KAMI lain yang berbaju oranye dan berborgol dipastikan sebagai kasus politik bukan pidana murni. Walaupun itu dikaitkan dengan tuduhan pelanggaran UU ITE yang bersanksi pidana.
Baru-baru ini seorang prajurit TNI yang menyanyikan lagu pujian kepada Habib Rizieq Shihab ditampilkan melalui media di depan publik dalam keadaan berborgol pula. Banyak yang mengkritik kondisi ini dengan penilaian bahwa hal itu berlebihan dan tidak patut. Simpati pada prajurit tersebut pun mengalir.
Memborgol para aktivis dan prajurit TNI di atas sebenarnya menjadi kultur politik yang buruk, bahkan dapat dikualifikasikan sebagai melanggar asas "praduga tak bersalah" (presumption of innocent).
Bagaimana tidak, seseorang yang belum diproses hukum tuntas, sudah leluasa dipamerkan sebagai terhukum. Ini persoalan serius bangsa dan rezim. Borgol demokrasi namanya.
Membungkam oposisi dengan pamer pemborgolan adalah budaya politik tak beradab, primitif, dan melanggar HAM. Suara yang berbeda dengan penguasa adalah bagian dari demokrasi. Tak bisa disikapi semena-mena meski dengan menggunakan perangkat hukum.
Sebaiknya segera bebaskan aktivis KAMI atau para mahasiswa, buruh, dan para penyuara aspirasi rakyat lainnya. Bebaskan prajurit TNI yang berekspresi. Mereka tak layak diperlakukan sebagai layaknya penjahat. Ekspresi politik adalah warna dari demokrasi yang patut dimaklum dan dihormati.
Lepaskan borgol demokrasi.
Rezim pemborgol demokrasi akan selalu disulitkan oleh perlawanan kekuatan demokrasi. Ini sudah menjadi konsekuensi bahkan tradisi dari generasi ke generasi.
Ketika memamerkan oposisi yang diborgol, sadarkah jika kekuasaan itu dapat berputar dimana penguasa menjadi pihak yang terborgol?
Kini Jumhur, Syahganda, Anton Permana atau lainnya dipertontonkan dengan tangan diborgol, terbayangkah jika besok Jokowi, Megawati, Luhut, atau Mahfud yang dipertontonkan berbaju oranye dan diborgol? Moga tidak terjadi.
Karenanya lebih beradab dan santunlah dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Lepaskan borgol demokrasi. Demi martabat negeri!
(Pemerhati politik dan kebangsaan.)