HRS Mau Pulang, Kenapa Pemerintah Heboh?
Mengingkari ketokohan HRS, sama dengan pengingkaran bahwa Mahfud MD adalah orang Madura. Terlalu jelas kebesaran HRS untuk diingkari.
Tak pernah ada sebelumnya seorang tokoh pun yang berjaya menghimpun tujuh juta manusia pada satu tempat di waktu yang sama.
Bahkan seorang Kiai Said Agil Siradj sekalipun yang merupakan Ketum PBNU. Atau Joko Widodo, yang merupakan Presiden Indonesia. Atau siapa saja di antara tokoh yang ada di negeri ini.
Habibana Rizieq Shihab memang bukan Khomeini yang disebut tokoh suci oleh Menkopolhukam Republik Indonesia. Membandingkan HRS dengan Khomeini, sama dengan perbandingan antara sandal dan kopyah, tak sepadan. Khomeini sandal, HRS kopyah.
Maka kalau ada yang tak tahu beda antara sandal dan kopyah, cobalah sesekali jalan-jalan ke kantong-kantong masjid, majelis-majelis taklim, majelis maulid dan atau tempat berkumpulnya ummat dalam jumlah besar.
Mahfud MD menyebut HRS tidak penting. Konon tak hirau dengan kepulangan beliau. Tapi kenapa Pemerintah, dalam hal ini Menkopolhukam dan Dubes RI di Saudi begitu heboh menyiarkan bahwa kepulangan HRS adalah karena dideportasi.
Lantas apa urusannya orang-orang ini, HRS pulang karena dideportasi atau tidak?
Mahfud MD menukas agar HRS tidak usah malu mengaku pulang karena dideportasi. Sekarang saya jawab, sebaliknya Pemerintah tidak usah heboh, memberikan bantahan bahwa HRS pulang bukan karena deportasi.
Karena pada kenyataannya, ijin tinggal HRS di Saudi adalah sampai Tanggal 11 November 2020. Sedang beliau sudah akan meninggalkan Saudi Tanggal 9, dua hari sebelum akhir masa ijin tinggal.
Ingat ya, itu sampai 11 November adalah ijin tinggal atau visa. Bukan exit permit seperti keterangan Dubes Agus Maftuh Abegebriel.
Jadi darimana ceritanya orang yang visanya masih berlaku, kemudian disebut pulang karena dideportasi? Mikir!
(Ustadz Abrar Rifai)