[PORTAL-ISLAM.ID] Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto dirinya sedang duduk santai pakai sarung sambil membaca buku.
"Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi," tulis Anies Baswedan di akun twitternya, Minggu (22/11/2020).
Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi. pic.twitter.com/sBhF8k0UW0
— Anies Baswedan (@aniesbaswedan) November 22, 2020
Dalam foto yang diunggah, Anies tampak sedang membaca buku berbahasa Inggris berjudul 'HOW DEMOCRACIES DIE' (Bagaimana Demokrasi Mati).
Buku ini ditulis oleh dua profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt
Loh kok ada foto Pak Jokowi sedang baca komik?
Itu sindiran netizen di kolom reply (komentar) postingan Anies Baswedan.
"Sama2 suka membaca," komen netizen akun @yohandewa yang mengunggah foto Pak Jokowi sedang membaca buku komik sambil mimiknya berkerut tanda serius :)
"Ha.ha..bagai langit dan bumi makanan otaknya," timpal @LulutPrasetiyo.
Gak salah sih penilaian netizen.
Buku yang dibaca Pak Jokowi buku komik, komik si juki.
Sedangkan buku yang dibaca Pak Anies memang buku kelas berat 'HOW DEMOCRACIES DIE'.
Dan ini sepertinya bukan tanpa tujuan Pak Anies memposting buku berjudul itu.
'Bagaimana Demokrasi Mati' karya Profesor Harvard Steven Levitsky & Daniel Ziblatt ini memang seperti sindiran Anies Baswedan terhadap kondisi terkini yang sedang ramai, heboh, ribut bin ruwet.
Yang paling mencolok adalah bagaimana TNI terjun langsung mencopoti baliho, mengancam bubarkan ormas, show of force kendaraan militer, dll.
Dalam sinopsis buku 'HOW DEMOCRACIES DIE' disebutkan:
"Demokrasi bisa mati karena kudeta—atau mati pelan-pelan. Kematian itu bisa tak disadari ketika terjadi selangkah demi selangkah, dengan terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah, dan penindasan total atas oposisi.
Ketiga langkah itu sedang terjadi di seluruh dunia dan kita semua mesti mengerti bagaimana cara menghentikannya.
Dalam buku ini, dua profesor Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyampaikan pelajaran penuh wawasan dari sejarah untuk menerangkan kerusakan rezim selama abad ke-20 dan ke-21.
Mereka menunjukkan bahayanya pemimpin otoriter ketika menghadapi krisis besar.
Berdasarkan riset bertahun-tahun, keduanya menyajikan pemahaman mendalam mengenai mengapa dan bagaimana demokrasi mati; suatu analisis pemicu kewaspadaan mengenai bagaimana demokrasi didesak; dan pedoman untuk memelihara dan memperbaiki demokrasi yang terancam, bagi pemerintah, partai politik, dan individu.
Sejarah tak berulang. Namun kita bisa melindungi demokrasi kita dengan belajar dari sejarah, sebelum terlambat."
Demikian sinopsis dari buku edisi terjemahan bahasa Indonesia 'Bagaimana Demokrasi Mati' yang diterbitkan Gramedia.
Ha.ha..bagai langit dan bumi makanan otaknya
— Lulut Prasetiyo (@LulutPrasetiyo) November 22, 2020