ULAMA DAN PENGUASA
Ulama itu tugasnya menegur dan menasehati pemimpin dan penguasa, walaupun penguasanya adalah penguasa yang baik, lurus, adil dan bijaksana serta dicintai rakyatnya, karena, selama ia masih manusia, tidak ada jaminan tidak berbuat salah atau tidak melenceng dari amanat kepemimpinannya yang dosanya sangat besar dan berlipat-lipat sebagai pemimpin dan penguasa bila ada rakyatnya yang sakit hati, terdzalimi dan teraniaya karena memimpin dengan tidak adil.
Bayangkan bila rakyat yang sakit hati, merasa teraniaya atau didzalimi itu jutaan jumlahnya. Lamanya hisab atau pemeriksaan di akhirat pasti akan lebih lama dan lebih dahsyat dibanding golongan orang-orang kaya. Orang yang pernah mengalami pemeriksaan polisi saja, di BAP, di dunia dan urusan dunia, kesalnya bukan kepalang saking lamanya dan rincinya pertanyaan, apalagi di akhirat kelak yang tak satu butir zarrah persoalan pun akan luput dan terlewati dari pemeriksaan Allah yang Maha Rinci dan Maha Detail.
Ketika dinasehati ulama, sikap pemimpin atau penguasa itu duduk, diam dan dengarkan. Resapi dan hayati tidak perlu berkomentar sedikitpun apalagi beladiri kecuali membayangkan satu tempat saja: Neraka jahanam!! Bila ia memimpin tidak adil, banyak menyakiti dan mendzalimi rakyatnya.
Dimana penguasa itu ditegur, diingatkan dan dinasehati ulama? Di kediaman ulama karena pemimpin dan penguasalah yang datang ke rumahnya meminta nasehat, bukan ulama yang datang ke istana.
Marwah ulama, keilmuan, zuhudnya dan keshalehannya, harus dijaga agar tidak runtuh, tidak berharga murah dan direndahkan oleh dunia (kekuasaan dan kekayaan).
Wallahu a'lam.
Inspirasi dari menatap dan menghayati petuah Buya Hamka.
(Moeflich Hasbullah)