Terima Kasih Pak Anies
Oleh: Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Selesai naruh mobil di bengkel di kawasan bintaro, saya naik angkot. Kenapa naik angkot, gak naik Grab Car? Alasan ekonomis di masa pandemi. Hehe.. Tepatnya, ingin merasakan suasana sosial yang lebih plural dengan para penumpang angkot yang lain. Di angkot ada sensasi dan inspirasi tersendiri. Ini gak ditemukan saat naik mobil pribadi atau Crab Car.
Duduk di depan, persis samping mas sopir. Satu persatu penumpang di belakang nyerahin kartu. Oleh sopir kartu itu di tempel di mesin kecil yang ada di depan. Bunyi tiiit. Lalu, kartu itu dikembalikan satu persatu ke para penumpang.
Giliran ke saya sopir nanya: mana kartunya pak? Kartu apa? Saya balik nanya. Aku gak punya kartu angkot, Jawabku. Kalau gak punya kartu, gak bisa pak. Katanya. Oh, kalau gitu, aku turun depan.
Ketika angkot berhenti, aku tanya lagi sebelum turun. Kalau kartu e-toll bisa? Bisa pak. Mandiri dll. Jawab sopir itu. Oh, kalau gitu, aku punya kartu e-toll mandiri. Segera aku keluarin dari dompet, dan kartu ditempel di mesin kecil di depan sopir. Ternyata, bisa! Alhamdulillah, ucapku. Aku gak jadi turun. Mobil jalan lagi.
Ini gratis pak. Sudah dua tahun. Sopir kasih info. Seketika, insting investigatorku on. Ada dorongan untuk wawancara ke sopir angkot. Penasaran. Maklum, insting wartawan!
Ini betul gratis? Tanyaku lagi. Betul! 0 rupiah bayarnya. Sopir itu menjawab. Aku lihat di mesin, betul. Angka 0.
Berarti digaji bulanan ya mas? Tanyaku lagi. Berapa gaji sebulan? 4,2 juta, katanya. Oh, gaji tetap, gak dikejar setoran, kerja dengan tenang. Sahutku. Sopir mengangguk.
Kutanya sopir lagi, ada berapa jumlah angkot yang gratis di DKI? Dia beri rincian per rute. Hapal betul sopir ini. Anda sopir atau pengusaha angkot? Gumam dalam hatiku. Totalnya, kata si sopir, ada ratusan angkot Jak Lingko di DKI. Gratis. Ini luar biasa!
Sampai di Lebak Bulus aku turun. Semua penumpang, tanpa terkecuali, mengucapkan terima kasih ke mas sopir. Gratis, bawa angkotnya santai dan komunikasinya santun.
Bagiku, ini bukan hanya soal gaji, angkot dan sopir. Tapi ini soal perilaku. Semua jadi berubah. Dengan gaji tetap, sopir tak lagi kejar setoran. Tak perlu zig zag, potong jalan, ngebut dan ngerem mendadak yang bisa membahayakan penumpang dan pemakai jalan yang lain. Mobil terawat, nyaman di jalan, gratis pula.
Ada sekitar 1 juta warga Jakarta yang menggunakan angkot setiap harinya. Jika semakin banyak warga menggunakan jasa angkot, maka akan berpengaruh pertama, pada kemacetan. Akan sangat berkurang.
Kedua, lebih ekonomis. Gratis, gak perlu boros bensin. Kalau harus naik bus way atau MRT, murah sekali bayarnya. Sangat terjangkau oleh karyawan dengan gaji rendahan.
Ketiga, angkot jadi tempat plural dan heterogen dalam interaksi dan pergaulan. Semua identitas dan status sosial melebur dalam satu lingkungan interaksi. Di tempat publik ini, ego status runtuh. Orang gak kenal direksi, komisaris atau manager. Yang mereka lihat adalah penumpang angkot.
Sekali lagi, ini bukan hanya soal angkot yang gratis. Tapi ini soal pluralitas, pembauran sosial dan terapi mental yang berefek pada terurainya kemacetan dan juga managemen ekonomi keluarga. Banyak hal positif yang bisa diurai dari program Jak Lingko ini.
Program Jak Lingko DKI sangat baik, proper dan bisa dicopy paste untuk daerah-daerah lain, terutama perkotaan yang padat penduduk dan macet.
Terima kasih Mas Sopir. Terima kasih Pak Gubernur DKI. Anda telah membuat banyak perubahan di DKI. Tidak hanya perubahan kota, tapi perubahan mental dan perilaku warga.
Jakarta, 15 Oktober 2020