LEMBAGA survei ini sekali lagi membuat pengumuman: Donald Trump akan menang di Pemilu Amerika Serikat 9 hari lagi.
Pun empat tahun lalu. Hanya lembaga ini yang mengumumkan Trump akan menang.
Itulah lembaga jajak pendapat bernama Trafalgar Group milik ahli jajak pendapat Robert Cahaly. Dan yang paling mencolok, saat itu, Robert menegaskan Trump pasti menang di negara bagian Michigan dan di persemakmuran Pennsylvania.
Kemenangan Trump di dua wilayah itulah yang membuat Hillary Clinton –biar pun mendapat suara terbanyak– gagal jadi presiden. Padahal hampir seumur-umur dua daerah itu selalu dimenangkan Demokrat.
Robert punya teori baru dalam jajak pendapat. Yakni ia sebut sebagai faktor ''tekanan sosial''. Misalnya begini: Trump adalah tokoh yang citranya buruk. Siapa yang memilih Trump dianggap punya cacat sosial.
Tapi sebenarnya banyak orang yang setuju dengan pikiran-pikiran Trump. Misalnya soal mengutamakan Amerika sendiri itu.
Logikanya orang Amerika yang cinta Amerika ya harus begitu. Apalagi orang kulit putih. Yang merasa menjadi pemilik sah Amerika.
Tapi kalau terang-terangan mengatakan akan memilih Trump mereka akan menerima tekanan sosial. Yakni dianggap rasialis. Padahal dalam hati mereka yang paling dalam, setuju dengan pikiran Trump itu.
Menurut Robert, orang seperti ini sangat banyak. Yang kalau ditanya oleh petugas jajak pendapat malu mengatakan yang sebenarnya.
Bahkan mereka ini cenderung bersikap memberikan jawaban yang aman --di mata sosial.
Kian kontroversial Trump kian besar tekanan sosial itu. Kian besar tekanan sosial itu mereka kian malu mengatakan sikap yang sebenarnya.
Toh di TPS nanti mereka bisa menentukan pilihan tanpa takut diketahui.
Nama Robert Cahaly menarik perhatian karena begitu aneh nama belakang itu. Ia kelahiran Georgia tapi besar di negara bagian sebelahnya: South Carolina. Nama belakang seperti itu ternyata karena ia keturunan Suriah. Ia penganut Kristen Ortodoks dan anggota partai Republik.
Tapi, katanya, hasil risetnya itu sangat bisa dipercaya.
Semasa muda Robert sudah aktif di politik. Ia sering menjadi anggota tim sukses politisi tingkat lokal. Lalu sering menjadi relawan untuk para calon presiden dari Partai Republik. Termasuk George Bush dan Donald Trump.
Robert mengungkap sisi kelemahan jajak pendapat dari umumnya lembaga survei. Kalau saja tidak ada faktor 'tekanan sosial' memang itu bukan kelemahan. Tapi mengingat di zaman Trump ini tekanan sosial begitu beratnya, metode jajak pendapat yang biasa menjadi lemah.
Misalnya: begitu banyak pertanyaan yang dititipkan di survei itu. Yang kadang responden curiga jangan-jangan itu bisa mengungkap identitas mereka.
Banyaknya pertanyaan itu juga membuat responden agak ogah-ogahan. "Misalnya jam 8 pagi sudah ditelepon oleh lembaga survei. Hanya pengangguran yang mau menyiapkan waktu begitu banyak. Selebihnya langsung mengatakan tidak mau jadi responden," ujar Robert seperti dipublikasikan di berbagai media di Amerika.
Akibatnya, kata Robert, tidak bisa diperoleh responden yang mewakili realitas masyarakat.
Itu berbeda dengan yang ia lakukan. Yang pertanyaannya dibuat sangat sedikit dan sederhana. Benar-benar hanya untuk tujuan melihat hasil Pemilu ini. Tidak dititipi dengan pertanyaan-pertanyaan strata ekonomi atau latar belakang politik yang rumit.
Kali ini pun hasil survei Robert mengatakan Trump akan menang. Tentu yang menentangnya sangat banyak. Misalnya: Hillary dulu kalah karena jadi mata pemilih orang tua dan pemilih laki-laki memang kalah. Sedang hasil survei terhadap Joe Biden sekarang sudah menang di segmen itu.
Demikian juga Michigan dan Pennsylvania. Kini seperti sudah dipastikan kembali ke pangkuan Demokrat.
Tapi Robert menemukan kenyataan yang berbeda. Kita pun bisa taruhan, siapa yang menang: Robert atau lembaga survei lainnya.
Saya pun menghubungi teman saya di Los Angeles. Ia lahir di Indonesia. Orang tuanya lahir di Tiongkok. Ia sendiri sudah warga negara Amerika.
Sebagai warga Amerika ia ingin Amerika terus jaya. Sebagai pengusaha ia tidak mau upah minimum naik terus. "Dari situ Abang Dahlan tahu saya pilih siapa," jawabnya.
"Hidup Trump!" balas saya di WA yang sama.
Rupanya perasaan seperti itu yang dideteksi Robert. Biden memang menegaskan itu. Termasuk di debat terakhir Calon Presiden minggu lalu. "Upah minimum harus 15 dolar/jam," tegas Biden. "Kalau di bawah itu berarti di bawah garis kemiskinan," tambah Biden.
Selama ini upah minimum di Amerika adalah 9 dolar/jam. Atau sekitar Rp 120.000/jam. Kalau menjadi 15 dolar berarti sekitar Rp 200.000/jam.
Hillary dulu juga menjanjikan upah minimum seperti itu.
"Kalau upah minimum jadi 15 dolar akan banyak perusahaan yang mengurangi jam kerja," ujar teman saya itu.
Di samping itu ketakutan akan sosialisme ternyata sudah pula mengakar. Kampanye Trump berhasil. Yakni yang mengasosiasikan Biden sebagai sosialis.
Trump sendiri Sabtu lalu sudah mencoblos. Saat ia berada di Florida. Ia memilih TPS di dekat istana pribadi musim dinginnya di Mar A Lago di Florida.
Ia sebenarnya warga New York. Tapi ia merasa dikejar-kejar kasus terus di kota Big Apple itu. Terutama soal pajak. Maka ia memutuskan untuk menjadi permanen resident di Florida.
Siapa pilihannya kemarin? "Saya memilih orang yang bernama Donald Trump," jawabnya.
(Dahlan Iskan)