[PORTAL-ISLAM.ID] Masyarakat kecil menilai Joko Widodo-Ma'ruf Amin tak memberikan sama sekali perbaikan ekonomi hingga setahun masa jabatan keduanya. Memang, ada pandemi Covid-19 dalam 9 bulan terakhir.
Masalahnya, pemerintah malah menerbitkan kebijakan kontroversial, seperti Omnibus Law, alih-alih fokus pada penanganan pandemi secara langsung oleh Pusat.
setelah memenangkan Pilpres 2019 dengan ragam janji yang tampak berpihak pada rakyat kecil.
Junaedi (40), warga Cianjur yang bekerja sebagai penjual gorengan di Jakarta Selatan, mengatakan dalam setahun ini keuangannya justru makin seret.
Padahal, pada Pilpres 2019 ia mencoblos Jokowi karena janji-janjinya yang tampak hendak memberi kemudahan untuk rakyat, misalnya kartu sehat, kartu prakerja, dan kartu indonesia pintar.
"Waduh, setahun terakhir mah justru pailit, enggak ada seneng-senengnya, ampun saya," cetus dia, ditemui di lokasi jualannya, Senin (19/10).
"Padahal dulu saya milih karena katanya bisa gampang kalau berobat, bisa dapet kerja, [sekarang] malah enggak ada bedanya, istilahnya saya cuman makan janji, yang ada makin sulit," tuturnya.
Saat ditanyai perihal kepuasannya terhadap kinerja Jokowi, ia menyebut sama sekali tidak puas. Dirinya sempat berekspektasi tinggi kepada Jokowi, setidaknya dapat menurunkan harga bahan pokok hingga makin terjangkau.
Junaedi, penjual gorengan, mengaku keuangannya memburuk dalam setahun terakhir. (Foto: CNN Indonesia/Melani Putri)
"Enggak ada [kepuasan], nol besar, sama sekali enggak puas. Saya harapannya tinggi ke pak Jokowi, sekarang sama sekali enggak ada," keluhnya.
Senada, Suratmi (45), warga asal Wonogiri, sambil berkaca-kaca mengaku keuangannya memburuk dalam setahun terakhir. Ia yang berjualan bakso keliling kompleks mengatakan sepi pembeli.
Dalam sehari, dia biasanya bisa menabung hingga Rp200 ribu. Kini, ia hanya bisa bertahan hidup tanpa bisa menabung untuk masa depan.
"Menurun drastis [pendapatan], apalagi sekarang pandemi, jualan cuman buat dimakan sendiri, enggak ada tabungan, enggak tahu besok gimana, padahal Pak Jokowi katanya dulu bakal bantuin rakyat kecil, wong kami rakyat kecil tapi enggak ada [bantuan] itu," ucap perempuan yang akrab dipanggil Ratmi itu.
Sementara, dia masih harus menyekolahkan anaknya yang berusia 15 tahun 2 bulan ke SMA swasta karena ketentuan usia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
"Anak saya itu, bisa masuk SMA Negeri, malah masuk swasta karena usianya kurang tua, duit keluar banyak, angel tenan," seloroh Ratmi.
Senada, Abdullah (48), warga Madura yang merantau ke Jakarta, ketika ditanya pendapatnya soal setahun Jokowi menjabat menjawab, "Enggak ada manis-manisnya, pahit hidup saya malahan di sini".
Abdul, yang ikut aksi demo menolak Omnibus Law pada 13 Oktober, menyebut di masa pandemi Jokowi malah membiarkan kebijakan yang kontroversial muncul seperti Omnibus Law, bukannya membuat suasana aman. Terlebih, proses pembahasannya pun tak transparan.
Abdullah, pedagang makanan, mengkritisi Omnibus Law yang digarap tak transparan. (Foto: CNN Indonesia/Melani Putri)
"Omnibus Law yang mana? Enggak ada. Kenapa enggak ada? Karena kalau dibaca sama rakyat, udah mampus ketauan [rakyat], bakal susah, makanya disembunyikan," cetus dia.
Nilai Buruk
Sobirin (32), yang sehari-hari berdagang di daerah Kebayoran Baru, Jaksel, mengaku tak puas dengan kinerja Jokowi-Ma'ruf bila dibandingkan periode Jokowi-Jusuf Kalla.
"Terus terang saya enggak puas. Makin kesini makin parah aja [kebijakannya]. Jauh jika dibanding periode pertama," kata dia.
Ia pun memberi nilai 5 dari skala 1-10 terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf dalam satu tahun pemerintahannya.
"Harapannya ke depannya Pak Jokowi bikin kebijakan yang merakyat lah. Karena sekarang istilahnya yang kerja, gaji diturunin, apa-apa diturunin. Rakyat kecil bisa-bisa merampok kita," kata dia.
Fatur (25) menyebut banyak tindakan Jokowi dalam setahun ini yang merugikan rakyat. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya aksi demonstrasi yang terjadi.
"Kebijakannya itu kurang ke rakyat kecil. Kalau skala 1-10, saya kasih 0," kata Fatur.
Selain soal kebijakan, ia juga menyoroti pada setahun pertama Jokowi di mana banyak terjadi praktik kekerasan dari aparat kepada masyarakat. Praktik kekerasan itu, menurut dia banyak terjadi saat demonstrasi.
Sobirin, pedagang makanan, memberi nilai 5 bagi Jokowi-Ma'ruf. (Foto: CNN Indonesia/Yogi Anugrah)
"Seharusnya rakyat itu dilindungi, bukan dihajar-hajar kayak gitu," kata dia.
Dampak Pandemi
Di sisi lain, Yanto, seorang pengemudi ojek online, mengaku puas dengan kebijakan yang diambil pemerintah setahun belakangan ini.
"Saya orang awam. Kalau menurut saya bagus dia itu. Nyatanya semuanya bisa melakukan pembangunan di seluruh Indonesia. Pembangunannya merata," kata dia.
Ia tidak memungkiri jika beberapa waktu belakangan kondisi ekonomi tengah buruk. Namun, itu karena pandemi Covid-19 dan tidak bisa serta merta menjadi kesalahan pemerintah.
"Mau presiden siapa aja kalau keadaan begini (pandemi Covid-19) repot," kata Yanto.
Ia juga menyebut, selama setahun pemerintahan ini, Jokowi sudah menunjukkan komitmen dan kebijakan yang mengemong rakyat kecil.
"Ke depan harus bisa lebih maju lagi dari tahun ini," ujar dia.
Diketahui, pandemi Covid-19 di Indonesia dimulai pada 2 Februari usai pengumuman dua pasien pertama Virus Corona di dalam negeri. Sejumlah pemerintah daerah kemudian memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang membatasi aktivitas warga, termasuk perdagangan.
Yanto, pengemudi ojek daring, memaklumi dampak ekonomi akibat pandemi. (Foto: CNN Indonesia/Yogi Anugrah)
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pandemi Virus Corona memberi dampak yang lebih kompleks dibandingkan dengan krisis pada 1997-1998 dan 2008-2009.
"Saya sampaikan virus corona jauh lebih kompleks dari 2008-2009 karena mengancam manusia, mematahkan seluruh fondasi ekonomi di seluruh negara dan gejolak di pasar modal yang tidak ada jangkar," papar Ani, beberapa waktu lalu.
"Tidak ada yang tahu kapan virus corona berhenti," imbuhnya.
Namun demikian, Ekonom Indef Didik J Rachbini menilai kejatuhan ekonomi di masa pandemi, yang mencapai minus 5,32 persen di kuartal II 2020, disebabkan oleh pemerintah yang tidak mampu menangani pandemi dengan cakap.
Malah, katanya, Pusat menyerahkannya kepada pemerintah daerah yang memiliki sumber daya lebih terbatas.
"Pertumbuhan ekonomi itu faktornya puluhan, sekarang faktor utamanya adalah pandemi. Tapi, kebijakan pandemi sekarang parah ini sudah salah kaprah," tandas dia.
Sumber : CNNIndonesia