[PORTAL-ISLAM.ID] Suatu ketika, Khalifah Umar ibn Khattab menjumpai anaknya yang sedang memegang sekeping koin Fulus tembaga [ada yang meriwayatkan sebagai perunggu]. Karena tidak pernah merasa memberinya, Umar bertanya, "Dari mana kamu peroleh Fulus itu?"
"Dari Abu Musa al-Asy"ari," jawab sang anak seraya menyerahkan uang receh tersebut kepada sang ayah.
Ya, memang saat itu, Abu Musa ditugasi memegang jabatan selaku pemegang Baitul Mal, perbendaharaan pemerintahan. Bergegas Umar mendatangi Abu Musa.
"Betulkah engkau memberi anakku sekeping uang perunggu?" bentak Umar.
"Benar, wahai Amirul Mukminin." Abu Musa mulai merasa bersalah.
"Ceritakan asal-usul uang itu," pinta Umar.
Dengan hati-hati Abu Musa menjawab, "Tadi pagi, saya menghitung pemasukkan Baitul Mal. Seluruhnya terdiri dari dinar emas dan dirham perak, kecuali sekeping uang tembaga itu. Semua dinar emas itu sudah saya bukukan dalam catatan tersendiri, demikian pula dirham perak. Oleh karena Fulus itu tidak seberapa harganya, dan hanya satu-satunya, apa gunanya saya catat dalam daftar terpisah, hanya menghabiskan buku saja. Jadi saya berikan kepada anakmu sekedar untuk membeli kue-kue kecil."
Kontan saja, Umar naik pitam. Ia menegur dengan berang, "Tidakkah kau lihat anak-anak selain anak Umar yang lebih membutuhkannya? Anak seorang prajurit rendahan yang berjuang melawan pasukan Romawi di baris depan jauh lebih mulia dibandingkan anak Umar, seorang khalifah yang hanya memerintahkan tentaranya berperang dari kamar tidurnya."
Akhirnya, Fulus tembaga itu dikembalikan ke Abu Musa dan Umar memerintahkannya agar dicatat dan dipergunakan bagi kepentingan yang lain.
*Foto atas: Fulus zaman Khalifah Malik ibn Marwan [685 M – 705 M]
(Zaim Saidi)