Intelektual yang berdemonstrasi, menurut seorang staf khusus sebuah kementerian, pastilah mereka lemah dalam berargumentasi dan lebih senang menikmati budaya grudak-gruduk.
Terus terang itu pernyataan yang mengherankan, apalagi yang melontarkannya kebetulan juga seorang guru besar dalam rumpun ilmu sosial.
Intelektual ikut berdemonstrasi, atau bahkan menggagas serta memelopori demonstrasi, bukanlah hal aneh dan baru. Dan yang pernah melakukannya juga bukan orang-orang sembarangan.
Sebagaimana terekam dalam sejumlah foto yang kini telah menjadi klasik, pada 1972 Foucault dan Sartre terlibat dalam sebuah demonstrasi di depan Kementerian Kehakiman Perancis guna membela hak-hak kaum imigran. Siapa tak kenal Jean-Paul Sartre? Siapa juga tak kenal Michel Foucault? Apa keduanya terlihat seperti orang yang kekurangan akal dan suka grudak-gruduk?
Linus Carl Pauling adalah seorang intelektual yang pernah memenangi dua hadiah Nobel, yaitu Nobel Kimia (1954) dan Nobel Perdamaian (1962). Penghargaan itu menunjukkan bagaimana reputasinya sebagai seorang sarjana. Pada 1962, Pauling terekam kamera ikut dalam sebuah aksi demonstrasi yang diikuti oleh ratusan orang di depan Gedung Putih, mereka menolak dimulainya kembali uji coba nuklir di semua wilayah Amerika. Apakah Pauling terlihat seperti orang fakir baku-dalih?
Pada 1998, dua orang doktor ilmu politik kerap tampil dalam sejumlah demonstrasi mahasiswa, baik di kampus UGM, maupun di Jakarta. Keduanya adalah Ichlasul Amal dan Amien Rais. Ichlasul Amal saat itu bukan hanya doktor, ia sudah profesor, dan bahkan menjadi Rektor UGM. Sementara Amien, yang belum sempat membacakan pidato pengukuhannya, saat itu selain dosen senior di Fisipol UGM, ia adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan Ketua Dewan Pakar ICMI. Apakah keduanya terlihat seperti orang yang sempit ilmu dan pikirannya?
Terlibat atau tidak terlibat dalam sebuah demonstrasi bukanlah perkara besar dan kecilnya otak seseorang, melainkan lebih soal kepekaan nurani seseorang. Seorang intelektual yang terusik nuraninya, bukan hanya boleh, atau harus ikut berdemonstrasi dan berorasi, bahkan bila perlu ikut melempar batu sebagaimana yang pernah dilakukan Edward Said. Pada tahun 2000, dalam sebuah aksi membela Palestina di perbatasan Libanon-Israel, Said ikut melempari batu pos-pos tentara Israel.
Apakah aksi itu telah menurunkan derajat Edward Said menjadi seorang tukang gruduk, atau justru menunjukkan kepekaan nuraninya yang tak sekadar hidup di menara gading?
Seorang guru besar yang telah menghina intelektualitas para demonstran dan menghina para intelektual yang (pernah) terlibat aksi demonstrasi sangatlah tak patut diberi penghormatan atas gelar dan jabatan akademiknya. Seorang guru besar semacam itu bahkan tidak layak untuk dihormati oleh para mahasiswanya.
Keberadaan orang semacam itu adalah sebentuk hinaan bagi kampusnya. Para kolega dan murid-muridnya sangat pantas merasa malu.
(By Tarli Nugroho)