BISAKAH PRESIDEN TERGULING?
By Asyari Usman
Jawaban untuk pertanyaan di judul tulisan ini ialah: sangat bisa. Ada berbagai alasan yang menyebabkan presiden terguling. Dan juga perdana menteri. Rakyat menuntut penyingkiran pemerintah-pemerintah yang korup. Mereka juga menuntut taraf hidup yang lebih baik dan kebebasan yang lebih besar.
Itulah yang terjadi di Kyrgyzstan, dua hari lalu. Dan di Bolivia, Aljazair, Lebanon, Irak dan Sudan sepanjang 2019. Sedangkan di Chile dan Ekuador, rakyat berhasil mendapatkan konsesi dari pemerintah mereka.
Dua hari lalu, Kamis (15/10/2020), presiden Republik Kyrgyzstan, Sooronbay Jeenbekov, meletakkan jabatan. Dia akhirnya terguling. Dia memilih mundur ketimbang melihat pertumpahan darah. Presiden Jeenbekov menghadapi aksi ptotes besar selama berhari-hari. Penyebabnya adalah pilpres 4 Oktober 2020. Jeenbekov dinyatakan menang.
Pihak lawan menuduh Jeenbekov menang karena membeli suara. Hasil ini kemudian dibatalkan. Tetapi, suasana tegang tak mereda. Akhirnya, dia memutuskan untuk mundur. Pidato pengunduran diri Jeenbekov luar biasa hebat.
“Saya tidak akan berkeras mempertahankan kekuasaan. Saya tidak ingin tercatat dalam sejarah Kyrgyzstan sebagai presiden yang membiarkan pertumpahan darah.”
Sepanjang 2019, ada sekian banyak presiden dan perdana menteri yang digulingkan rakyat. Evo Morales di Bolivia dipaksa mundur dari kursi presiden, 10 November 2019. Dia dituduh curang dalam pemilihan umum.
Coba Anda perhatikan. Tuduhan pemilu curang di Bolivia bisa menyulut aksi unjuk rasa yang akhirnya membuat Presiden Morales terguling.
Saad al-Hariri, perdana menteri (PM) Lebanon, dipaksa mundur setelah berlangsung aksi protes jalanan di seluruh pelosok negara, Oktober 2019. Rakyat menuduh elit penguasa melakukan korupsi sistemik dan meluas di tengah krisis ekonomi yang menghimpit negara itu.
Hebatnya rakyat Lebanon, mereka menolak calon perdana menteri, Hassan Diab, yang diajukan Presiden Michel Aoun. Demo besar terus berlangsung. Tanpa henti. Di Beirut dan juga kota-kota lain. Massa demo menolak Diab karena mereka menganggap guru besar (profesor) itu sebagai bagian dari elit korup.
Di Irak, PM Adel Abdul Mahdi mundur November 2019. Dia menghadapi tekanan berat dari aksi protes besar yang melumpuhkan Irak sejak 1 Oktober 2019. Warga menuntut reformasi total. Sebab, sistem yang berlaku sangat korup. Yang membuat sebagian besar rakyat Irak dilanda kemiskinan.
Lebih 450 orang tewas dan 20,000 luka-luka sejak demo panjang itu dimulai. Namun, warga tidak surut. Ketika akan diumumkan penjabat (Plt) PM, rakyat kembali turun ke jalan. Mereka bertekad untuk memastikan agar orang-orang korup tidak kembali berkuasa.
Tekanan kuat rakyat membuat Presiden Barham Salih menolak untuk mengangkat figur partai yang didukung Iran sebagai PM. Presiden Salih menegaskan dia akan memilih mundur ketimbang mengangkat orang yang ditolak rakyat. Salih akhirnya mengambil sikap memihak ke rakyat.
Rakyat benar-benar berdaulat di Irak. Mereka mampu menekan pemerintah. Tidak ada satu pun yang tampil ngawur untuk mendukung tokoh yang ngawur.
Persinggahan berikutnya adalah Aljazair di Afrika utara. Di sini, Presiden Abdelaziz Bouteflika mengundurkan diri pada 2 April 2019. Dia meletakkan jabatan setelah KSAD Jenderal Ahmed Gaid Salah menuntut agar Bouteflika dinyatakan tidak sehat dan harus segera turun.
Aksi protes luas berkobar pertengahan Februari 2019. Penyulutnya adalah pengumuman Bouteflika bahwa dia akan ikut pilpers untuk masa jabatan ke-5. Tapi, karena tekanan aksi demo besar-besaran, akhirnya presiden yang berusia 82 tahun itu meletakkan jabatan.
Penyingkiran Bouteflika dari kursi presiden tidak membuat rakyat Aljazair berhenti melancarkan demo jalanan. Banyak warga yang menganggap pemerintah tak becus, korup, dan tidak mampu mengelola perekonomian yang sedang dianda krisis berat. Rakyat kompak mengawal tuntutan penyingkiran elit korup.
Rakyat Aljazair betul-betul sadar bahwa elit korup dan sistem yang busuk harus diamputasi. Jangan sampai berkelanjutan. Namun, rakyat paham juga bahwa proses demokrasi harus tetap dilaksanakan.
Tapi, ketika pemerintah melaksanakan pilpres pada 12 Desember 2019, lebih 60% warga memboikot. Hanya saja, secara konstitusional Abdelmadjid Tebboune menang pilpres. Rakyat menolak. Karena dia pernah duduk sebagai PM di bawah Presiden Bouteflika. Aksi unjuk rasa yang menuntut perubahan di Aljazair berlangsung selama delapan bulan, non-stop.
Selanjutnya, Sudan. Presiden yang berkuasa cukup lama, Omar al-Bashir, berhasil ditumbangkan lewat unjuk rasa yang dimulai Desember 2018 hingga April 2019. Bashir duduk sebagai presiden selama 30 tahun.
Dahsyatnya rakyat Sudan, unjuk rasa yang kerap rusuh itu masih berlanjut selama berbulan-bulan berikutnya. Berlangsung lama setelah Bashir digulingkan. Rakyat Sudan melakukan demo berkepanjangan itu karena mereka berkesimpulan bahwa mata rantai kekuasaan otoriter harus diputus. Jangan sampai dilanjutkan lagi oleh sisa-sisa rezim korup dan penindas.
Omar al-Bashir diajukan ke pengadilan dengan sejumlah dakwaan korupsi. Pada 14 Desember 2019, dia dijatuhi hukuman penjara dua tahun.
Perlawanan sipil juga terjadi di bagian lain dunia. Pada saat rakyat Bolivia melancarkan unjuk rasa panjang yang berakhir dengan penggulingan Evo Morales, di Ekuador aksi demo berlangsung berminggu-minggu oleh warga pribumi. Demo panjang ini memaksa Presiden Lenin Moreno mencabut Keppres yang menaikkan harga BBM.
Kerusuhan di Chile mendorong pemerintah mengeluarkan paket ekonomi jutaan dollar. Sedangkan di Kolombia, Presiden Ivan Duque tak bisa duduk tenang karena menghadapi aksi protes massa dan mogok kerja. Rakyat Kolombia menentang kebijakan ekonomi dan juga korupsi yang meluas.
Itulah antara lain catatan tentang perlawanan sipil terhadap kezoliman pemerintah. Dari berbagai pengalaman empiris di atas bisa disimpulkan bahwa aksi demo besar dan berlangsung panjang bisa menggulingkan presiden atau perdana menteri.
17 Oktober 2020
(Penulis wartawan senior)