Oleh: Syafril Sjofyan
PADA mulanya masyarakat tidak mempermasalahkan Keputusan Presiden No. 24/2016 tentang Hari Lahir Pancasila, karena menganggap itu sekedar penghormatan terhadap Ir. Soekarno. Namun ternyata tujuannya lebih dari itu.
Hal itu ternyata telah dijadikan dasar argumen untuk membuktikan bahwa Pancasila yang harus diakui oleh negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila versi pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945 yang di dalamnya memuat gagasan pemerasan Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila.
Inilah sebuah argumen yang dibangun dengan melakukan mutilasi sejarah. Terdapat perbedaan penting yang cukup mendasar antara Pancasila versi pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945 yang baru berbentuk gagasan pribadi, dengan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang sekarang berlaku.
Pancasila sebagai norma fundamental (staatsfundamenteelnorms) yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diatur dalam jenis produk hukum UU, tetapi harus tercermin nilainya dalam Batang Tubuh (Pasal-pasal) UUD 1945 atau Ketetapan MPR sebagai Norma Dasar Negara (Staatsgrundgezets).
Karena, "Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara", begitu amanat Pasal 2 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Setelah dikaji dan dianalis secara mendalam oleh Forum Komunikasi Patriot Peduli Bangsa (FKP2B), ternyata RUU HIP dan kemudian berubah menjadi RUU BPIP telah melanggar prinsip pembentukan norma hukum yang baik, karena telah melanggar asas "kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, dalam hal penjabaran Pancasila kemudian diatur dalam suatu UU, hal itu justru telah mendegradasi (down grade) Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi. RUU BPIP sungguh telah melecehkan nalar dan logika hukum yang sangat elementer.
Pada RUU BPIP dikatakan bahwa tugas BPIP membantu Presiden, tetapi di dalam rincian tugas dan penyelenggaraan fungsinya ternyata jangkauan kegiatan dan produknya sangat menyeluruh, dari merumuskan arah kebijakan sampai memberikan rekomendasi kepada, antara lain, lembaga negara (jadi termasuk MPR), pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan elemen masyarakat lainnya.
Dengan memperhatikan dan mencermati tugas dan fungsi BPIP yang disebutkan di dalam RUU BPIP ( pasal 7 dan 8) sudah bisa dibayangkan bahwa kewenangannya sangatlah besar. Kebijakan dan rekomendasinya atas nama Pancasila akan menjadi sangat ampuh karena penolakan terhadapnya akan berarti anti Pancasila.
Badan yang berada di bawah kendali Presiden ini akan menjadi personifikasi Pancasila, super body yang dapat digunakan untuk menghabisi lawan- lawan politik atau siapa pun yang tidak sejalan dengan Pemerintah. Pancasila akan menjadi alat untuk menjustifikasi kekuasaan tanpa batas dari Presiden .
Padahal UU No. 17/2014 di dalam Pasal 5 nya menyatakan MPR bertugas, antara lain (huruf b.), "memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika".
Apabila di dalam kegiatan pemasyarakatan Pancasila ini memang dianggap perlu suatu lembaga yang lebih operatif yang akan diperankan di tataran teknis, lembaga tersebut semestinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada MPR, dengan tugas dan kewenangan di tataran teknis, tidak sampai merumuskan arah kebijakan dan hal-hal lain yang bersifat mendasar yang merupakan kewenangan MPR yang tidak boleh didelegasikan.
Upaya penyesatan, pengacauan, atau makar ideologi harus segera diakhiri dengan menolak RUU BPIP dan membubarkan BPIP karena keberadaannya tidaklah diperlukan, bahkan bisa menjadi ancaman yang sangat membahayakan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis adalah pengamat kebijakan publik, Sekjen FKP2B.