Saya juga berduka atas berpulangnya Bapak Jakob Oetama (JO). Bersama Pramoedya Ananta Toer (alm), beliau adalah tokoh pers yang saya kagumi karena karya-karyanya. Karyanya hebat, membela yang lemah, dan membawa banyak perubahan di masyarakat.
Harus diakui, Kompas adalah legenda.
Redaktur senior Kompas Ninok Leksono menulis hari ini tentang Pak JO dan topik ideologis tingkat tinggi. Begini kegundahan Pak JO:
“Apa iya kapitalisme pasar bebas merupakan ideologi yang sempurna dan mampu menyelesaikan permasalahan dunia? Kok, masih banyak kemelaratan di negara kapitalis makmur. Apakah demokrasi liberal cocok untuk semua bangsa? Mestinya ada Jalan Ketiga seperti dimajukan Anthony Giddens.”
Dari sekian banyak obituari yang ditulis orang tentang Pak JO, itu bait paling mengena buat saya. Itu pertanyaan mendasar tentang hakikat hidup dan manusia. Tak sekadar teknis ekonomi. Tapi soal kebaikan umum, kesejahteraan bersama, yang bermula dari kegundahannya tentang bagamana manusia pribadi per pribadi tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas bernama negara.
Sebab negara adalah konsep, manusia adalah kenyataan.
Dalam terang pertanyaan kritis Pak JO itu, kita patut majukan sebagai batu uji untuk menilai karakter pemerintahan Presiden Jokowi dalam membangun Indonesia. Tantangan saat ini tentu berbeda, karena salah satunya ada faktor teknologi informasi yang berubah banyak dan cepat beberapa dekade terakhir.
Saya keberatan dengan beberapa perlakuan negara berupa kebijakan publik yang keluar saat ini. Di mana aspek membangun manusianya? Apa itu investasi? Bagaimana investasi menyejahterakan mereka yang lemah dan miskin? Mengapa ada sebagian kecil yang kaya dan berkuasa dan sebagian besar lainnya miskin dan lemah?
Pemerintah saat ini melenceng dari semangat seperti yang Pak JO bilang. Demokrasi diartikan menghimpun sebanyak-banyaknya suara pemilih dalam pemilu dengan berbagai cara untuk membagi kekuasaan di antara kawanan yang itu-itu saja.
Investasi diartikan memasukkan uang sebanyak-banyaknya dari luar negeri untuk dibakar di sini dan dikemas cantik dalam buku laporan keuangan yang selanjutnya dipakai untuk mengakumulasi modal.
Ekonomi dan bisnis ada untuk manusia. Bukan sebaliknya manusia untuk bisnis. Investasi untuk manusia, bukan segala-galanya manusia demi investasi. Tujuan ekonomi adalah kesejahteraan orang, lahir maupun batin. Bukan sekadar terima uang atau roti.
Perbedaan watak dan cara berpikir menghasilkan produk kebijakan yang berbeda.
Menteri Pertanian di sini promosi kalung, Thailand menganggarkan US$956 juta untuk meningkatkan pendapatan pedesaan dengan teknologi pertanian, menciptakan produk komunitas, dan mempromosikan pariwisata.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di sini merangkap jabatan komisaris perusahaan marketplace pun ‘menghina’ seniman dengan menyodorkan bantuan langsung tunai bagi seniman. Dia tidak tahu cara memperlakukan manusia seni yang tidak bisa hanya menengadah tangan. Di mana kreatifnya kalau dia tidak bisa menciptakan mekanisme penyaluran bantuan kepada seniman tetapi dengan cara bermartabat, misalnya menyelenggarakan kegiatan seni digital.
Korban PHK yang tengah bermasalah dengan pendaringan diwajibkan nonton video pelatihan, baru mendapatkan bantuan. Alhasil semua kacau, sasaran penerima tidak maksimal mendapatkan, karena dihadapkan pada keribetan mengonsumsi video terlebih dulu. Teknologi dan kemajuan digital diartikan menggunakan uang negara untuk menjaga keberlanjutan bisnis sebagian kecil grup usaha.
Reformasi BUMN artinya mengganti orang lama dengan orang yang segaris, memastikan klaster usahanya bisa bersatu padu dengan perusahaan negara untuk kemudian diincar kepemilikan sahamnya, memastikan izin-izin kolega/grupnya aman dan berlanjut supaya tidak merusak buku dan kepastian investasi bisnisnya, menarik kembali militer/polisi ke dalam jabatan sipil bisnis sebagai proteksi jika ada perlawanan massa...
Kabar terakhir lainnya adalah warning bagi kita bahwa di sudut ring sana ada segelintir orang yang melobi pemerintah meminta agar bunga BLBI dipangkas karena masa pandemi. Padahal BLBI adalah makhluk yang telah merusak dan menciptakan berbagai ketidakadilan sampai sekarang.
Pemerintah tidak memperlakukan teknologi untuk manusia. Jika teknologi untuk manusia maka bukan jualan video Prakerja yang dikedepankan tapi teknologi dipakai untuk membangun basis data dan mempermudah penyaluran bantuan dan kontrol.
Jika teknologi untuk manusia maka tidak ada anak sekolah di pelosok yang naik ke pohon untuk mencari sinyal seluler dengan pulsa yang ia dapat dari utang tetangga sana-sini. Yang ada adalah sistem intranet nasional bebas pulsa untuk pendidikan jarak jauh.
Bukan pula genit membangun brand Merdeka Belajar hasil hibah rekanan/keluarga. Mau Merdeka Belajar, Belajar Merdeka, atau apapun istilahnya, tidak akan ada artinya kalau anak-anak di pelosok masih sulit mengakses pendidikan jarak jauh yang layak.
Jika investasi untuk manusia maka yang diciptakan adalah kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk mengakses sumber daya ekonomi. Bukan terlebih dahulu mengamankan regulasi (perppu stabilitas moneter, revisi UU BI, omnibus law) untuk kepentingan segelintir kalangan bisnis dan lembaga utang.
Pengutang akan selalu memastikan yang diutangi berada dalam kontrol, patuh, dan uangnya kembali. Apapun caranya. Bedakan investasi dengan berdagang dan permakelaran.
Presiden Jokowi makin menjauh dari apa yang dicita-citakan Konstitusi. Ia terlibat terlalu dalam dengan kepentingan penguasaan ekonomi oleh sekawanan orang. Ia bergabung dengan mereka yang mempertahankan kemapanan dan berbelok dari tugas konstitusionalnya untuk membela yang lemah dan susah.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)