Ada isu yang beredar kenapa Arab Saudi masih belum melakukan langkah damai dengan Israel, seperti Bahrain dan UEA, karena Kerajaan takut terhadap reaksi kelompok Islam yang ada di dalam Arab Saudi.
Tampaknya ini terlalu lebay untuk menjadi sebab Arab Saudi masih belum melakukan langkah damai dengan Israel, karena semua tokoh yang mungkin mampu menggerakkan masa ataupun membentuk opini umum melawan langkah itu semunya sudah dijebloskan dalam penjara, dengan berbagai alasan.
Dua hari lalu, the Wall Street Journal (WSJ) memberitakan gossip judulnya, “Saudi Royal Family Divides Over Potential Embrace of Israel”, intinya, ada silang pendapat antara Raja Salman dengan Putra Mahkota, MBS, dalam hal naturalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel, seperti yang telah dilakukan oleh Bahrain dan UEA.
Mengingat WSJ sangat dekat dengan Administrasi AS, tampaknya apa yang disampaikan itu benar adanya. Apalagi WJS juga salah satu media yang sering mendapatkan perhatian khusus dari MBS. Menurut WSJ, “Saudi Arabia’s monarch, King Salman bin Abdulaziz, has been at odds alongside together with his son, Crown Prince Mohammed bin Salman, over embracing the Jewish state. The king is a longtime supporter of the Arab boycott of Israel and the Palestinians’ demand for an unbiased state. The prince wishes to maneuver earlier what he sees as an intractable battle to affix with Israel in enterprise and align in the direction of Iran”.
Raja Salman tidak diragukan lagi loyalitasnya pada Arab dan Palestina, terkait masalah normalisasi hubungan denga Israel, Raja Salman masih bersikeras mempertahankan Arab Peace Initiative, yang pada intinya terbentuk negara Palestina berdaulat dengan Quds sebagai ibukotanya.
Loyalitas Sang Raja juga telihat ketika beliau menjadi volunteer dalam Suez Crisis tahun 1956, dimana Pangeran Salman Bin Abdul Aziz yang berumur 21 tahun bergabung dengan militer Mesir untuk melawan tripartite aggression (Inggris, Perancis, Israel) melawan Mesir.
Makanya kita tidak menepis kemungkinan isu yang dipublikasi oleh WSJ benar. Setidaknya sejumlah indikasi mengarah kesana, antara lain:
Pertama: Komunikasi antara Presiden Trump dengan Raja Salman, dimana Trump meminta Raja Salman untuk mengumumkan damai dengan Israel, seperti yang dilakukan Bahrain dan UEA. Namun tampaknya Raja Salman menolak, sehingga Trump hanya mengatakan, “the country will do so at the right time”.
Kedua: Dalam pertemuan Kabinet Arab Saudi yang dipimpin oleh Raja Salman pada Selasa yang lalu, sama sekali tidak menyinggung masalah langkah UEA dan Bahrain. Justru sang Raja menegaskan kembali dukungannya atas kesatuan tanah Arab dan dukungan terhadap Palestina hingga tercapai solusi yang komprehensif.
Ketiga: Arab Saudi punya gengsi yang besar, Saudi tidak suka ikut-ikutan dalam hal kebijakan tertentu, kalau memang mau damai dengan Israel, sejak awal Saudi sudah mengumumkan sendiri, tanpa ikut-ikutan negara lain, apalagi negara yang dianggap lebih rendah dari Arab Saudi.
Keempat: Dubes Arab Saudi di Washington, Reema bint Bandar bin Sultan tidak hadir dalam penandatanganan Abraham Accord di Gedung Putih, bahkan tidak ada yang mewakilinya dalam acara itu.
Bisa saja, MBS telah menjanjikan kepada sahabatnya, Jares Kushner, bahwa Arab Saudi akan melakukan normalisasi hubungan dengan Israel, ternyata MBS tidak mampu meyakinkan bokapnya yang bersikeras mempertahankan Arab Peace Initiative dan kemerdekaan Palestina. Namun ini masih spekulasi, belum ada bukti.
Kalau mengutip pernyataan Yossi Cohen, Direktur Mossad, dalam interview di Times of Israel, “That Saudi Arabia could be in line to normalize ties with Israel following landmark peace agreements with the United Arab Emirates and Bahrain”. Tampaknya benar apa kata WSJ. Apalagi ketika Cohen tidak mau menjawab ketika ditanya “Whether he’s met Riyadh’s de facto leader or not”. Artinya, adanya leader dan de facto leader di dalam pemerintahan Arab Saudi sudah menjadi common secret.
Peran dan Posisi Arab Saudi sebagai kakak tertua dunia Islam dan Arab mulai memudar dalam beberapa tahun terakhir karena berbagai sebab, antara lain isu hubungannya dengan Israel, perang Yaman. Sementara itu, secara politik dan militer, peran Arab Saudi itu mulai disaingi oleh Turki yang diterima oleh semua negara Muslim di seluruh dunia kecuali di Teluk, mungkin tepatnya oleh pemimpin negara Teluk....
(Saief Alemdar)