KETIKA Menteri Agama, Fachrul Razi direaksi karena ngomong radikalisme melulu, Presiden diam seribu bahasa.
Membiarkan menterinya babak belur dihajar oleh kebijakan penghapusan "ajaran radikal" dari buku pelajaran agama Islam, soal celana cadar dan cingkrang, pendaftaran majelis taklim, serta hafidz dan mahir bahasa arab sebagai pintu radikalisme.
Diduga sampai akhir jabatan Menag hanya akan berkhidmah pada "radikalisme". Dengan ilmu agama yang minim atau nyaris kosong.
Menteri diangkat Presiden oleh karenanya menjadi pembantu Presiden. Menteri bertanggungjawab kepada Presiden dan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan. Satu, sebagian atau seluruhnya.
Reshuffle adalah kewenangan ketatanegaraannya. Menteri menjadi "wajah" Presiden pada tataran pelaksanaan.
Ketika Menteri Agama gonjang-ganjing dengan kebijakan kontroversi mulai celana cingkrang hingga "otak cingkrang" bahwa hafidz atau penguasaan bahasa arab menjadi pintu radikalisme, semestinya Presiden bersuara atau bersikap.
Meluruskan atau mungkin menegur perbuatan yang menyakiti rakyatnya yang beragama Islam tersebut. Tegas untuk menggantikannya.
Jika Presiden diam saja maka rakyat berhak menilai:
Pertama, Presiden tidak mengerti apa yang dinyatakan sang Menteri. Ini artinya kualitas Presiden berada di bawah Menteri.
Kedua, Presiden mengerti tetapi tak bisa mengendali. Maka nyatalah bahwa Menteri itu jalan sendiri. Menteri tak jadi pembantu lagi.
Ketiga, kebijakan Menteri adalah suara dan isi hati Presiden. Maka tuntutan agar Menteri diganti sama saja dengan meminta Presiden yang diganti.
Hampir semua Menteri Jokowi tak berprestasi. Diam atau kontroversi. Jika di era parlementer semestinya kondisi ini menyebabkan bubarnya Kabinet. Mungkin untuk yang kelima kali.
Presiden yang diam saja di saat Menterinya salah menggambarkan bahwa Pemerintahan sudah kehilangan wibawa, runtuh kepercayaan, dan deklarasi diri atas ketidakmampuan.
Lalu apa yang bisa diharapkan oleh rakyat lagi?
Pilihan konstitusional hanya dua mundur atau dimundurkan. UUD 1945 mengatur cara melakukan penyegaran dalam pemerintahan demi kebaikan besama dalam berbangsa dan bernegara. Bukan mengada-ada apalagi makar atau kudeta.
M. Rizal Fadillah
Pemerhati politik dan kebangsaan.