Oleh: Dr. Mohammad Nasih
Pak Menag Yth..
Berita tentang ucapan Pak Menag bahwa good looking, fasih berbahasa Arab, dan hafal al-Qur’an merupakan pintu masuk radikalisme, membuat saya sungguh terkejut. Saya langsung mencari video aslinya melalui channel youtube untuk mencerna langsung pesan yang Pak Menteri sampaikan dengan memperhatikan intonasi bahkan mimik muka Pak Menteri. Bagi saya masalah ini sangatlah penting. Sebab, tiga kriteria itu adalah obsesi saya berjibaku mendidik anak-anak muda belia.
Saya mendirikan rumah perkaderan dan tahfidh al-Qur’an Monash Institute sewindu lalu di Semarang, Jakarta, dan dua tahun lalu di Rembang tidak lain untuk melahirkan kader muslim intelektual profesional. Saya sering menyampaikan dalam kajian tertutup untuk anak-anak ideologis saya setiap setelah shubuh dan maghrib-isya’, karena khawatir menyinggung banyak orang, bahwa tidak mungkin bisa menjadi muslim yang sesungguhnya jika tidak hafal al-Qur’an. Sebab, untuk bisa memahami pesan al-Qur’an secara utuh, sampai kepada pesan moral terdalam, hanya mungkin apabila seluruh ayat itu berada di dalam kepala dan dada. Itu karena antar ayat di dalam al-Qur’an terdapat interkoneksi yang hanya bisa ditangkap oleh orang yang bisa berbahasa Arab fushhah dan menghafal al-Qur’an secara total. Bahkan sampai ada mufassir yang menulis secara khusus tentang munasabah antar ayat dan surat, di antaranya al-Biqaa’i dengan karya Nadhm al-Durar fii Tanaasub al-Aayaati wa al-Suwar. Memang tidak mudah memahami perspektif ini jika tidak hafal al-Qur’an, Pak Menteri.
Saya beri gambaran gampang-gampangan. Ibaratkan saja ayat-ayat dalam al-Qur’an itu masing-masing adalah sebuah data. Kalau kita mau mengolah data, maka semua data harus dimasukkan ke dalam memori untuk kemudian dibaca dan dianalisis oleh program tertentu tergantung kebutuhan. Misalnya, untuk tahu perolehan suara para calon dalam Pemilu, Pilkada, atau Pilpres, tentu data perolehan suara dari seluruh TPS harus dimasukkan. Dengan begitu, komputer akan menunjukkan siapa pemenang lengkap dengan perolehan suara dan selisih antar calon, baik jumlah riil maupun prosentase.
Jika ada data yang tidak masuk, maka hasil akhirnya akan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Dan itu bisa berpengaruh kepada penentuan pemenang. Sekedar contoh, ada seorang sahabat Nabi yang dulu keliru memahami ayat QS. al-An’am: 82. “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kedhaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82). Mendengar ayat ini, seorang sahabat menjadi gundah, lalu bertanya: “Siapa di antara kami yang tidak mencampur keimanannya dengan kedhaliman?” Ini karena mereka merasa pernah melakukan kedhaliman dan pasti akan kembali melakukannya. Nabi menjawab: “Bukan itu maksudnya, belum dengarkah kalian ucapan Luqman terhadap anaknya?” Lalu Nabi membaca surah Luqman ayat 13: “Sesungguhnya syirik adalah kedhaliman yang besar.” (Sahih Bukhari 3428, 4776, 6918).
Terlihat sekali, jika sebuah ayat dipahami dengan tanpa mengkoneksikannya dengan ayat lain yang seharusnya, justru akan keliru. Dari sini, kita bisa mengambil hikmah bahwa justru mereka yang tidak mampu melakukan interkoneksi antar ayat secara utuhlah yang akan jadi radikal dalam definisi Pak Menag.
Nah, Pak Menag; untuk menghafalkan al-Qur’an secara keseluruhan, ternyata tidak semua orang bisa, walaupun Allah telah menjamin memudahkannya. Bahkan orang yang bergelar mentereng dari universitas terbaik di dunia, belum tentu bisa melakukannya. Sebab, diperlukan usaha khusus dengan istiqamah/konsisten. Yang tidak istiqamah, secerdas apa pun, tidak akan bisa. Saya punya datanya. Dalam skala kecil-kecilan, saya sudah uji coba kepada beberapa teman saya yang bergelar Ph.D. dan menyatakan ingin menghafal al-Qur’an, dan sebenarnya jika serius akan bisa, tetapi baru beberapa pekan saja sudah angkat tangan karena tidak mampu istiqamah menjaga. Selain itu, data yang saya punya, orang ‘ajam (non Arab) hanya sedikit saja yang benar-benar mampu menghafal al-Qur’an secara keseluruhan, total 30 juz, jika tidak paham bahasa Arab.
Data yang ada pada saya tidak lebih dari 0,3 persen saja. Dalam keadaan buta bahasa Arab itu, usaha yang diperlukan untuk menghafalkan al-Qur’an bisa sampai tujuh kali lipat. Dan bagi kebanyakan penghafal, ini menjadi tidak mungkin karena waktunya tidak memungkinkan untuk menjalankan teknis prosesnya. Sudah saya tulis jadi sebuah artikel, bisa dicari melalui google.
Karena itulah, sejak tahun 2017, siapa pun yang menyatakan ingin menghafalkan al-Qur’an saya wajibkan untuk memahami makna literalnya dulu. Dengan kata lain, mereka harus memahami bahasa Arab yang fasih. Sebab, sekali lagi, bahasa Arab yang digunakan oleh al-Qur’an adalah bahasa Arab yang fasih. Bahkan dijadikan sebagai tolak ukur ketinggian sastra Arab, karena sampai saat ini tidak pernah dan tidak akan pernah tertandingi.
Pak Menag, saya berharap kemenag melakukan riset untuk mengkonfirmasi atau lebih baik lagi mengoreksi temuan saya, bahwa muslim di Indonesia yang bisa membaca huruf al-Qur’an belum banyak. Baru tidak lebih dari 40 persen. Itu pun belum sesuai kaidah tajwid. Yang bisa membaca sesuai kaidah tajwid tidak lebih dari 4 persen dari yang 40 persen itu. Jika begitu, Anda bisa mengira-ira berapa yang bisa membaca al-Qur’an dan bisa berbahasa Arab? Bahkan, dengan sampel yang mungkin bisa dikatakan belum terlalu mewakili semua, saya pernah menghitung kesalahan rata-rata bacaan al-Fatihah mereka ternyata 8 kali. Dan ketika ditanya kenapa bisa masih salah begitu, umumnya mereka merasa sudah benar. Sebab, mereka diajari di sekolah oleh guru-guru agama yang mereka percaya.
Nah, kalau begini, apa tidak masih banyak PR kita? Bahkan tidak sedikit lulusan pesantren dan madrasah masih belum beres urusan tashrif. Kalau urusan tashrif belum beres, bagaimana mau fasih berbahasa Arab? Dan ini urusan kemenag.
Kalau Pak Menteri sudah mengetahui masalah utama umat beragama kita, mestinya jangan malah menuduh orang yang fasih berbahasa Arab, hafal al-Qur’an, dan good looking sebagai orang-orang radikal dalam definisi Anda. Ajaklah mereka, kalau perlu gaji mahal mereka, agar mereka mengajarkan apa yang mereka kuasai kepada seluruh anggota masyarakat bangsa ini. Daripada uang negara dihamburkan untuk membayar buzzer untuk memproduksi dan memviralkan berita dusta, akan lebih baik Pak Menag gunakan untuk melakukan penelitian untuk memperoleh data tentang akses dan kemampuan baca umat Islam kepada al-Qur’an dan kemudian juga mensupport para penghafal al-Qur’an yang good looking untuk mengajar.
Kalau yang mengajar good looking, yang belajar juga semangat. Kalau yang mengajar adalah santri-santri berpenampilan tidak menarik, belum-belum sudah diremehkan dan diabaikan. Jangan khawatir umat ini jadi cerdas. Kalau rezim ini baik, pasti akan mereka dukung dan didoakan baik. Sebaliknya, kalau rezim ini tidak beres, pasti akan didoakan, bisa didoakan baik dengan mendapatkan hidayah, tetapi bisa didoakan buruk agar dibinasakan. Sebab, doa buruk juga diperbolehkan bagi orang yang didhalimi. Dan dalam sistem demokrasi, tidak ada larangan untuk bersuara kritis. Terhadap orang-orang yang bersuara kritis itu, jangan sedikit-sedikit bilang radikal.
Kalau radikal Pak Menag identikkan dengan yang good looking, fasih berbahasa Arab, dan hafidh al-Qur’an, saya sampai kapan pun akan berburu mereka, bahkan saya mau beri beasiswa dengan uang pribadi agar mereka bisa berjama’ah untuk diskusi secara radikal (sampai seakar-akarnya) dimulai dari urusan ushuluddin (akar tunggang agama) sampai urusan politik yang dikuasai oleh kaum medioker. Semoga bermanfaat untuk kita semua. Sekian terima kasih. Semoga Pak Menag sehat lahir batin. Aamiin.
__
*Penulis adalah Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Qur’anic Habits di Rumah Perkaderan MONASH INSTITUTE Senarang dan Sekolah Alam Planet NUFO Rembang.
(Sumber: Baladena.id)