KRITIK ATAS KARIKATUR KOMPAS
Oleh: Priyo Djatmiko
Karikatur editorial ini representasi isi kepala editorial Kompas? Apakah benar ini musuh bersama prioritas bangsa ini, mungkin debatable.
Tapi menarik, misal, dipilih (1) Anarkisme alih-alih totalitarisme yang menguat meski halus. Dipilih (2) Hoax yang akarnya rendahnya literasi masyarakat awam alih-alih menyoroti fenomena rekayasa sub-truth dan post-truth melalui buzzer bayaran yang merusak demokrasi dan tatanan sosial.
Dalam hal yang universal disepakatipun seperti korupsi, karikatur ini abai, bahwa yang musuh bukan (3) Mental Korup tapi sosok koruptornya. Ini problem politis yang konkrit dan menyangkut struktur bukan soal budaya yang abstrak yang menyasar individu. "Mental" itu abstrak, target yang terlalu jauh dan bukan wilayah aparat. Tentara dan polisi itu diberi pentungan dan bedil konkrit bukan abstrak, maka musuh mereka mestinya benda konkrit. Ini juga lebih sesuai dengan peran mereka sesuai undang-undang. Jika kampanye kita bahwa musuh adalah suatu "mentalitas" maka peran utama negara dan perangkatnya tidak jelas. Masyarakat tak mendapat edukasi hal itu yang sebetulnya sangat diperlukan untuk menguatkan peran masyarakat dalam negara demokrasi.
Kalau kita lihat belakangan ini, sebagian nama-nama musuh di karikatur Kompas ini adalah proyek favorit pak pol (polisi) dan pak ten (tentara). Apakah mereka sudah benar dan tidak abuse of power (dan menjadi tools of power) dalam menangani hoax, anarkisme dan premanisme?
Problem lain adalah diabaikannya Oligarki bermodal gedhe. Ironisnya gambar ini menampilkan harmonisnya hubungan petani dan aparat, yang dalam kenyataan sering terjadi segitiga kekerasan aparat, petani dan oligarki: tidak sekali dua kali saja kita dengar aparat bersenjata memukuli dan menangkapi petani (dan komunitas adat) yang mempertahankan lahan dan asetnya dari serangan oligarki berduit.
Setahu saya fungsi sosial dari karikatur satir itu adalah realisme sosial. Kalaupun menggambarkan suatu utopia (bahwa petani dan aparat bergandengan tangan dengan posisi seolah pak tani lebih dihormati dan didengarkan petuahnya) ia mesti menonjolkan sisi vulgar, ironi dan menelanjanginya sebagai suatu utopia yang tidak nyata.
Dan inilah problem karikatur: ok, ia punya hak sebagai satire. Sebagai satire untuk memojokkan orang lain, ia bisa jadi senjata bagi pihak yang lemah untuk menyindir pihak yang berkuasa, atau sebaliknya, menjadi instrumen pihak yang berkuasa, maka ini bukan soal hak untuk satire lagi, tapi soal mau diarahkan kemana senjata satire itu oleh media? Dalam hal karikatur Kompas ini, pilihannya satire ke masyarakat atau ke oligarki dan negara yang mendukung dan didukung oligarki?
Dalam hal Charlie Hebdo misalnya, ia merasa mulia menjadi corong kebebasan berpendapat dan suka playing victim ketika mendapat reaksi, namun yang diserang kartun Charlie Hebdo adalah masyarakat minoritas tertentu (sakralitas agama adalah proxy dan pintu masuknya) dan ia tidak pernah menyerang struktur kuasa yang lain seperti pemodal.
Agama juga di era seperti sekarang, sebetulnya sering di posisi lemah, diolok-olok oleh media yang berdiri di kepentingan pemodal dan tak mendapatkan akses cukup untuk memberi hak jawab, membeli hak public relation yang representatif di media-media itu. Agama di tangan media-media pemodal besar, adalah obyek yang statis, yang pasrah didefinisikan sesuka hati dan kepentingan mereka.[fb]