Sebagai mantan wartawan koran harian, saya mengerti bahwa judul headline, tata letak/kolom, pemilihan narasumber, materi grafis, pemilihan font, teaser, warna background kolom, pemilihan foto/ilustrasi, dan sejenisnya adalah satu kesatuan pesan yang mencerminkan posisi editorial redaksi terhadap suatu isu.
Makanya saya terperanjat ketika melihat Kompas (Sabtu, 12 September 2020) menyandingkan headline hal. 1 berjudul “Pengetatan PSBB untuk Tekan Penyebaran Wabah” dengan kolom analisis budaya Ariel Heryanto (Profesor Emeritus dari Universitas Monash Australia) berjudul “Orang Baik”.
Profesor Ariel menulis begini:
“Belum lama di Tanah Air istilah ‘orang baik’ melambung jadi jargon politik. Tersirat tuduhan tentang lawan politik sebagai orang-orang ‘tidak baik’. Yang aneh, memilih pejabat negara jadi mirip memilih pacar atau menilai calon menantu. Moralitas, agama, atau ketakwaan pribadi calon pejabat dianggap lebih penting ketimbang kinerja profesional dan kemampuan memimpin.”
“Sebelum 1965, debat politik bukan soal orang baik atau jahat, tetapi adu visi kebangsaan sesuai ideologi partai. Sejak 1966, debat politik ditabukan. Sesudah 1998, partai politik miskin visi dan komitmen ideologi. Elite politikus mudah bertukar partai politik. Mudah ganti sekutu koalisi.”
Dalam badan berita, narasumber yang menjadi lead berita adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang mengisi porsi hampir 1/2 berita.
Sumber utama grafis juga dari Pemprov DKI, laman Covid19 Jakarta, dan Litbang Kompas.
Tak ada narsum dari pemerintah pusat.
Pertanyaannya, tertuju kepada siapa istilah “Orang Baik” itu dalam situasi negara yang ‘genting’ karena hantaman COVID-19 seperti sekarang?
Katakan jujur saja, Anies selama ini tidak dijuluki “orang baik”. Ia dituding sebagai orang bermulut manis, pandai merangkai kata, dan lekat dengan mereka yang dijuluki kadrun. Anies harus diwaspadai karena akan membawa gerbong yang mengancam kesatuan negara Pancasila. Kan begitu.
Tapi “orang baik” adalah jargon yang diumbar oleh partai yang mengklaim suara anak muda yaitu PSI, yang awalnya dipimpin kawan saya, Grace Natalie. PSI menyokong Ahok dan Jokowi serta membenamkan ke benak publik bahwa keduanya “orang baik”. Hasilnya: satu “orang baik” menjadi presiden, satu “orang baik” menjadi komisaris Pertamina bergaji Rp170 juta.
PSI yang mendengungkan “orang baik” gagal lolos threshold. Grace pergi belajar ke luar negeri dan menyodorkan Giring ex Nidji sebagai pelaksana tugas partai pun sebagai calon presiden 2024. Jika betul Giring “orang baik” dan representasi suara milenial, tunggu dulu, kita perlu tanyakan/konfirmasi kepada personel Nidji. Betul apa tidak.
Bagi saya, PSI melakukan itu karena ingin tetap berada di lingkaran isu politik elite nasional. Tidak terlempar dari pembicaraan publik. Meskipun kontribusinya terhadap penyelamatan bangsa selama 6 bulan pandemi ini nyaris mendekati nol. Tidak segencar ketika masa kampanye dan menyuarakan “orang baik”. Dengan demikian, mereka hanya ingin ketika orang melihat Giring (Plt Ketua PSI) adalah bukan melihat seorang mantan anak band atau pemred portal berita game, tetapi sebagai capres. Persoalan jadi atau tidak, soal lain. Bagi saya Giring cuma akan berakhir menjadi spanduk.
Kampanye “orang baik” yang berkolaborasi dengan “akhlak” menghasilkan Menteri BUMN yang habis-habisan dikritik oleh anak jalanan cum aktivis 1998 Adian Napitupulu. Jokowi, yang seharusnya sadar bisa menjadi presiden karena perjuangan reformasi juga, justru membiarkan terjadinya hal yang bertentangan dengan amanat reformasi. Membiarkan upaya menarik TNI/Polri ke jabatan BUMN, nepotisme dan kroniisme dalam jabatan, dan sejenisnya, adalah contoh.
Baik dan berakhlak adalah mulia. Tapi di tangan permainan politik, ia menjadi hancur dan berganti kemunafikan.
“Orang baik” dan “berakhlak” seharusnya tidak membiarkan BUMN yang sudah berat dan banyak ruginya dibebani menggaji staf ahli yang bisa diduga tujuannya untuk memberikan tempat kepada penyokong yang belum kebagian jatah.
“Orang baik” akan memerintahkan Mendikbudnya untuk memikirkan cara bagaimana belajar online tidak memakai pulsa tapi bangunlah sistem intranet nasional, memberdayakan peran lembaga penyiaran publik (TVRI, RRI, dsb), atau upaya revolusi teknologi lain yang bebas biaya dan tidak memberatkan siswa dan orang tua. Bukankah itu tujuan mengangkat mas menteri yang konon ahli teknologi itu?
Tapi “orang baik” malah masih saja memanfaatkan situasi untuk membentuk citra dengan mempublikasikan perbincangan video call dengan seorang guru di Padang, Sumbar, yang kalau disimak isinya sama sekali tidak memberikan solusi pendidikan online. Wajar kita berpikir itu sebagai pencitraan karena Padang adalah daerah di mana “orang baik” tidak mendapat banyak suara.
“Orang baik” tidak akan membiarkan bunga kredit konsumtif bagi pegawai OJK 1,25%/tahun terus berlangsung. Besaran yang jauh sangat rendah dibandingkan dengan KUR atau kredit UMKM yang saat ini megap-megap dan potensial terjerat pinjol. Ia akan memerintahkan Menteri Koperasi dan UMKM yang bekas aktivis antikorupsi itu untuk protes dan menata itu semua. Karena itu memang tidak adil.
“Orang baik” akan memerintahkan Menaker untuk melawan upaya menyalurkan Rp5,6 triliun potensi keuntungan kepada perusahaan platform digital mitra Prakerja. Ia akan memerintahkan Menaker untuk memfungsikan seluruh Balai Latihan Kerja secara online dan mendata korban PHK lewat dinas untuk sesegera mungkin menyalurkan bantuan. Bukan memaksa kegiatan menonton video yang didahulukan dari keselamatan rakyat.
“Orang baik” akan segera memecat menteri pariwisata dan ekonomi kreatifnya yang terang-terangan merangkap jabatan sebagai komisaris perusahaan marketplace mitra Prakerja.
“Orang baik” tidak akan...
Ah, sudahlah.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)
Sebagai mantan wartawan koran harian, saya mengerti bahwa judul headline, tata letak/kolom, pemilihan narasumber, materi...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Jumat, 11 September 2020