Berbeda dengan Anis Matta dan Fahri Hamzah soal Politik Dinasti, Tinjauan Konstitusi, Norma dan Terobosan Partai Gelora
Oleh: Arka Atmaja (Pengurus DPW Partai Gelora Jateng)
Saya berani menulis ini, karena Gelora adalah partai terbuka dengan ide dan perbedaan gagasan. Dan siapapun punya kesempatan bicara tanpa ada kata "jangan sok pintar", "ilmu mu belum sampai", partai ini jauh dari kata itu. Partai ini memberikan keleluasaan gagasan meskipun berbeda dengan gagasan Ketum dan Waketum. Terimakasih yang berkenan membaca sampai akhir.
Oke...langsung ke gagasan saya..
Saya berbeda pandangan dengan bang Fahri Hamzah soal Politik Dinasti. Bang Fahri mengatakan bahwa Politik Dinasti tidak bisa terjadi dialam demokrasi, karena politik dinasti didefinisikan sebagai kekuasaan yang diturunkan karena hubungan darah, sedangkan dalam demokrasi, pilihan di tangan rakyat, calon bisa menang dan bisa kalah.
Jika definisinya seperti itu, memang betul, namun saya punya pandangan berbeda. Politik Dinasti di alam demokrasi itu ada tentu dalam konteks yang berbeda.
Jika memang definisi Politik Dinasti itu kaku, baik mungkin perlu dikasih tanda petik.
Kenapa "Politik Dinasti" di alam Demokrasi itu bisa terjadi, paling tidak ada 2 konteks:
Yang pertama adalah dalam konteks kesamaan motif. Ada motif keinginan melanggengkan kekuasaan kepada keluarga terdekatnya. Tentu saja melanggengkan kekuasaan dan jabatan tersebut melalui proses demokrasi. Memang betul bisa menang dan bisa kalah, namun tunggu dulu, adalah konteks kedua yang menyertai.
Yang kedua adalah dalam konteks ketidakadilan kompetisi. Ada kompetisi yang tidak fair, kompetisi yang sudah tidak seimbang, kompetisi yang tidak egaliter. Mempermudah proses kontestasi politik mulai dari rekrutmen politik, pencalonan, seleksi, bahkan proses pemilu sehingga memberikan peluang yang lebih besar kepada keluarganya dibandingkan kontestan lain untuk memenangkan kompetisi suara rakyat.
Dari dua hal itu kita lihat ada motif, dan juga ada upaya pengkondisian operasional kontestasi untuk mempermudah. Secara substansi dari Politik Dinasti adalah keinginan melanggengkan kekuasaan kepada keluarga terdekatnya.
Sehingga saya menyimpulkan Politik Dinasti ada di alam Demokrasi meskipun dalam dimensi yang berbeda.
Tinjauan Konstitusi
Pada dasarnya tidak ada larangan keluarga pejabat mengikuti proses politik, karena berdasarkan UUD 1945, ada 10 hak warga negara, salah satu diantaranya adalah hak terlibat dalam pemerintahan.
Hak politik adalah hak dasar dalam konstitusi kita, siapapun tanpa kecuali. Right to vote and Right to be candidate adalah basic right.
Sehingga meskipun ia seorang anak pejabat, tidak boleh ada larangan untuk ikut berkontestasi dalam pesta demokrasi. Pelarangan warga negara untuk memilih dan dipilih adalah pelanggaran hak azasi warga negara.
Namun demikian, baik anak pejabat maupun bukan anak pejabat apabila bertanding dalam kompetisi politik, harus diciptakan ruang tanding yang egaliter, adil, sama rata. Karena semua punya hak yang sama. Semua boleh mengikuti proses politik. Tidak boleh ada keistimewaan khusus kepada anak pejabat. Anak pejabat boleh berpolitik tapi haram diistimewakan.
Tinjauan Norma
Kita ketahui, bahwa dalam kehidupan berbangsa ada norma-norma, tidak hanya norma yang tertulis tapi juga ada norma-norma tidak tertulis. Ada norma kesopanan, kesusilaan, etika dan lainnya.
"Politik Dinasti" bisa jadi tidak melanggar konstitusi, hukum tertulis, namun apakah sesuai dengan norma-norma hukum tidak tertulis, kesopanan, kesusilaan, etika.
Namun memang, norma tidak tertulis ini adalah tinjauan pribadi, sangat subyektif.
Untuk itu ini juga jadi ruang bagi rakyat, apabila rakyat menilai anak pejabat ini tidak layak untuk mewakilinya, karena tidak sesuai norma-norma, maka rakyat akan menghukumnya dengan tidak memilihnya. Karena rakyat memilih juga dengan alasan subyektif mereka sendiri.
Terobosan Partai Gelora
Partai Gelora sebagai partai baru ingin berkontribusi dalam kontestasi Pilkada. Sebagai partai baru (tidak punya kursi), kita juga harus menyadari bahwa Partai Gelora hanya bisa memilih dari pilihan-pilihan yang tersedia yang kita anggap relevan untuk mempercepat perubahan.
Meskipun ada aroma politik dinasti, saya setuju dengan pilihan Partai Gelora yang mendukung Bobby dan Gibran maju dalam Pilkada. Gelora sebagai partai baru hanya bisa memilih dari pilihan yang tersedia. Baik Gibran dan Bobby telah melalui proses tahapan pemilu sebagaimana diatur dalam konstitusi, dan pilihan ini adalah terobosan tepat bagi Partai Gelora karena beberapa alasan.
Pertama, Gelora memberikan sinyal kepada publik bahwa Gelora tidak berada pada konflik pembelahan kebangsaan yang tak kunjung usai. Kita tahu bahwa aroma konflik Jokowi dan anti Jokowi masih sangat kental, Gelora ingin memberikan pesan kepada publik bahwa Gelora mengutamakan kolaborasi, bukan konflik politik yang terus menerus tanpa usai, apalagi di masa krisis dan pandemi seperti sekarang, sudah saatnya Indonesia bersatu dan bangkit.
Kedua, Gelora juga membuktikan bahwa Gelora bisa berkolaborasi dengan siapa saja. Tidak kaku dan sangat lues dengan dinamisasi. Keberanian Gelora untuk mendukung Gibran dan Bobby adalah terobosan bahwa kolaborasi lebih penting dibandingkan pencitraan politik.
Ketiga, Gelora bisa mengambil peran sebagai perekat kebangsaan, Gelora berada ditengah karena Gelora bisa bekerja sama dengan sayap kanan, kanan jauh, kiri dan kiri jauh.
Mari menghentikan keterbelahan kebangsaan, Indonesia di ambang bahaya karena krisis, kita bersatu, atau dimasa depan kita hanya akan bisa bercerita kepada anak cucu kita, "Dulu ada negara yang namanya Indonesia".
Semarang, 22 September 2020