Fenomena Gatot Nurmantyo dan KAMI, Antara Persekusi dan Anti-Demokrasi
Menarik menyimak sepak terjang dan gerakan moral kebangsaan yang dilakukan oleh KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia). Yang tiba-tiba dalam waktu tak begitu lama, begitu bergelora di seantero nusantara.
Bermula dari performa tokoh inisiator, deklarator dan presidiummnya yang luar biasa, narasi dan tuntutan moral yang disuarakan juga begitu mengena. Tepat sasaran dan selaras dengan fakta kondisi negara hari ini yang semakin terpuruk.
Matinya trias politika ditambah lumpuhnya kontrol media utama dan mahasiswa, menjadikan penguasa hari ini menjelma menjadi oligharki tunggal. Kondisi ini yang membuat KAMI begitu diterima masyarakat bagaikan angin segar di tengah badai kekeringan pola diktatorian yang semakin parah diterapkan di negeri ini.
Upaya penggalangan massa dan penolakan massa oleh sebuah kelompok masyarakat yang anti terhadap kehadiran KAMI di daerah sangat lucu dan menggelikan. Yang diperjuangkan KAMI itu adalah tentang nasib bangsa yang sekarat, dan konsen terhadap perlawanan gejala kebangkitan komunis serta penolakan tegas terhadap upaya mengganti Pancasila.
Yang diperjuangkan oleh KAMI itu adalah nasib bangsa dan masa depan bangsa ini yang setahap lagi menuju arah otoritarian berhaluan komunis. Yang anti kritik, anti agama, dan tidak bisa menerima perbedaan dengan cara intimidasi dan persekusi.
Tapi apakah KAMI gentar dan bergeming?? Justru yang terjadi sebaliknya. Kita bisa melihat bagaimana wajah para deklarator, presidium bahkan wajah Pak Gatot ketika dirinya di"persekusi" oleh kelompok massa tertentu itu. Raut wajahnya terlihat enjoy-enjoy saja. Wajah yang tenang dan optimis.
Padahal kalau pak GN mau, beliau adalah mantan Panglima TNI, orang nomor satu di TNI, mantan Pangkostrad dan Pangdam di Jawa Timur. Sebenarnya mudah bagi Pak GN untuk memobilisasi massa untuk sekedar "show of force" atau hanya sekedar menghadapi massa yang tak seberapa itu, baik di Magelang dan Surabaya.
Tapi ketika hal itu sempat ditawarkan untuk mengirim pasukan, Pak GN malah menjawabnya dengan santai "tak usah..Semua biar natural saja". Malah kita yang panas dingin dan gregetan melihat jawaban tenang Pak GN.
Untuk itulah saya tak terlalu kaget ketika ada sedikit keributan waktu kegiatan silaturahim KAMI di Surabaya pada tanggal 28 September 2020. Karena empat hari sebelumnya segala kemungkinan itu sudah kita baca dan ketahui, bahkan sampai dengan siapa aktor penggeraknya mudah ditebak.
Sebagai anak TNI, anak kolong dan keluarga besar TNI, jujur hal ini sangat membakar dada saya. Begitu juga dengan para anak-anak kolong yang lain. Bahkan para prajurit TNI yang aktif pun geram dan marah melihat mantan Panglima mereka dipersekusi bahkan sampai dilontari perkataan kotor. Ini sebenarnya sudah sangat keterlaluan.
Siapa lagi kelompok yang punya kelakuan seperti ini? Suatu kelompok yang jangankan kata-kata kotor, membunuh dan menganiaya jendral TNI, ulama, rakyat tak berdosapun pernah mereka lakukan tanpa rasa berdosa.
Akhirnya kita tahu, ketegasan Pak GN terhadap kebangkitan komunis dan ketegasan Pak GN serta perlawanannya terhadap upaya mengganti Pancasila telah membuat kelompok tersebut macam cacing kepanasan, marah dan kejang-kejang.
Tak sengaja, ungkapan Pak GN akhirnya memancing mereka semua keluar dan puncaknya adalah pada upaya persekusi terhadap Jendral GN di Magelang dan Surabaya.
Dengan kondisi ini tentunya yang kita soroti adalah kemana negara? Kenapa hal ini bisa terjadi di sebuah negara yang katanya demokrasi? Sebuah negara yang katanya berPancasila?
KAMI lahir sebagai kekuatan civil society karena matinya trias politika di negeri ini. Lumpuhnya aspek cegah dini, tangkal dini dari komponen utama pertahanan negara ini yakni TNI ketika ada upaya untuk merubah Pancasila dan bangkitnya neo-PKI yang jelas dilarang dan haram secara hukum.
Ditambah kesemrawutan dan hilangnya kedaulatan bangsa di tengah badai covid19, menjadikan negara kita rentan menuju perpecahan dan mengancam keutuhan NKRI dibawah Pancasila.
Kenapa ketika ada suatu kelompok (KAMI) yang menperjuangkan semua itu justru jadi korban persekusi dan intimidasi ??? Dimana secara konstitusi, hak berpendapat dan kewajiban bela negara sudah dijamin oleh konstitusi.
Akhirnya semua kembali kepada kita semua. Apakah masih anggap negara ini aman-aman saja? Ketika segala kebobrokan dan kesewenang-wenangan ini semakin meraja lela??
Tapi saya yakin. Pak GN adalah patriot sejati. Pak GN adalah Jendral tempur yang terlatih. Yang tentu juga tidak bekerja sendiri. Ada jutaan rakyat di belakang beliau. Ada ratusan bahkan ribuan ulama dan orang sholeh bersama beliau. Dan saya juga yakin, sebagai mantan Panglima TNI, tentu juga punya para prajurit-prajurit terbaik yang masih merah putih dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Para prajurit saptamarga yang sudah di sumpah setia kepada negara.
Biar waktu yang menjawabnya. Biar rakyat yang menilai. Siapa sebenarnya yang menjadi parasit dan pengkhianat di negeri ini. Siapa yang jadi pengecut dan penjilat di negeri ini. Karena ketika kebenaran dan keadilan itu dipersekusi, maka gelombangnya justru akan semakin besar. Itu sudah sunatullah. Bahwa kedaulatan negara itu ada di tangan rakyat. Ketika rakyat bersatu, ketika rakyat marah, dengan izin Allah, tak ada yang bisa menghadangnya. Demi keselamatan bangsa, demi menyelamatkan Indonesia dari cengkraman komunis dan kolonialis. InsyaAllah. Salam Indonesia Jaya!
Jakarta, 28 September 2020