Ambisi dan rivalitas politik brutal yang sesungguhnya bakal menghancurkan bangsa ini. Bukan COVID-19! Sebab, dua hal itu yang potensial mengaburkan tujuan utama kita yakni tercapainya keselamatan umum. Selamat raganya, selamat penghidupannya (sosial, ekonomi, dsb).
Ada pendapat menarik dari Uma Kambhampati, ekonom pembangunan University of Reading Inggris, seperti dikutip AFP/Kompas. Dia bilang pandemi COVID-19 telah memperlihatkan kelemahan sejumlah rezim orang kuat di berbagai penjuru dunia. Mereka memiliki sikap yang sama terhadap COVID-19. Setelah terkesan meremehkan di awal kemunculan wabah, mereka tak suka terhadap fakta dan cenderung menindas. Mereka memiliki perilaku kepemimpinan yang serupa, yaitu kepemimpinan macho. Ia merujuk PM India Narendra Modi dan Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai contoh.
Meremehkan di awal, bukankah itu juga yang terjadi pada pemerintah pusat? Mulai dari cekakak-cekikik saat konpers, meledek bisa hilang dengan nasi kucing, meremehkan dengan alasan bisa kabur karena doa-doa tertentu, lebih banyak kematian karena kecelakaan ketimbang korona, hingga Presiden Jokowi sendiri membuka festival pariwisata saat korona bermula.
COVID-19 makin tak terkendali adalah fakta. Yang bicara adalah Satgas Penanganan COVID-19 bentukan pemerintah pusat sendiri. Begitu juga lembaga seperti IDI, Laporcovid19, dan para ahli. Data dan beritanya banyak di mana-mana. Termasuk soal defisit ketersediaan fasilitas kesehatan di rumah sakit.
Lalu Menko Perekonomian bicara sentimen negatif IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) akibat rencana PSBB. Apa pula ini?
Saya tadinya mengira yang bicara itu analis sekuritas. Ternyata seorang menteri. Dia justru tidak bicara bagaimana antisipasi dan perlindungan sosial ekonomi saat PSBB itu berlaku. Artinya kita tidak sedang menonton kerja seorang menko ekonomi tapi menonton sebuah pertunjukan politik.
Tapi saya kesampingkan dulu masalah praktis politik kubu A atau kubu B. Saya tidak ambil peduli. Saya concern pada nalar kebijakan pemerintah. Apa bahayanya mengaitkan secara serampangan dengan IHSG? Hal apa yang hendak ditutup-tutupi sebetulnya?
Pertama adalah standar ganda. Dalam situasi terjepit lari ke sentimen negatif IHSG. Dalam situasi lain memuji bahwa PSBB justru meningkatkan animo investor ritel di pasar modal. Dilansirlah data investor ritel tembus 3 juta. WFH bikin orang melek investasi.
Nanti ketika PSBB berjalan lagi dan bandar mengerek IHSG, beritanya investor merespons positif kebijakan itu sebagai bentuk kepercayaan terhadap pemerintah.
Kedua, itu pernyataan yang justru menguatkan kepanikan pasar. Ketika panik melanda investor ritel domestik, investor asing jualan. Lihat BBRI. Asing beli di harga berapa pada Agustus, lalu bisa jual di berapa. Untung besar hanya dalam hitungan minggu. Cek juga statistik OJK per Juli 2020, sepanjang korona ini (Maret-Juli) asing jualan terus. Artinya apa? Di balik soal sentimen-sentimen itu, yang untung adalah asing, yang buntung banyak adalah investor ritel domestik yang jumlahnya kedua terbanyak setelah korporasi. Siapa asing-asing itu? Banyak juga orang Indonesia yang membuat vehicle di luar negeri dan bermain di bursa sini.
Ketiga, pasar modal punya hukum dan logika praktisnya sendiri sebagai forum transaksi efek. Mekanisme harga terbentuk berdasarkan permintaan dan pembelian di antara para pelakunya (individu, korporasi, reksa dana, yayasan, asuransi dsb). Tidak bisa serampangan mengaitkan sebuah berita dengan naik turunnya harga. Kalau ukurannya berita, wartawan sudah kaya raya semuanya kalau nyambi main saham.
Faktanya ada bandar yang menggerakkan. Ada Thanos-Thanosan, ayam-ayaman, mami-mamian, goreng-gorengan... (sudah banyak yang tahu soal ini). Fakta yuridisnya ada, bisa Anda simak sendiri dalam persidangan kasus Jiwasraya di PN Jakpus. Sidang terakhir mendengarkan kesaksian ahli dari STIE Indonesia Banking School yang mengatakan adanya modus pump and dump dan hit and run dengan memompa harga saham ke titik tertentu sampai harga tertinggi lalu keluar. Bagaimana caranya? Hembuskan isu-isu lewat berbagai saluran lobi dan media. Banyak lembaga PR yang bisa dipekerjakan.
Keempat, pemerintah gagal mengelola dampak pada sektor riil ekonomi dan mengalihkannya dengan melemparkan isu pasar modal. Ini justru merusak. Padahal hubungan antara investor bursa dengan emiten hanya pada, kasarnya, urusan kertas (efek) yang paling banter kaitannya dengan dividen. Tidak bicara tentang pengelolaan perusahaan dan produknya yang riil sehari-hari. Padahal justru urusan pabrik dan perburuhan sehari-hari itulah yang harus ditangani karena berkaitan dengan nyawa dan perut orang.
Jadi, sebenarnya, pemerintah pusat ini tidak memiliki resep dan langkah yang jelas untuk menangani dampak ekonomi riil akibat COVID-19. Makanya yang keluar adalah retorika yang kadang tidak jelas juntrungannya.
Bahkan, lebih konyolnya lagi, saya dengar sendiri dari seorang anggota DPR yang bersama saya menjadi narasumber di TV One pada April lalu. Saat jeda iklan dia bilang soal kesiapan keuangan negara dan fasilitas kesehatan menghadapi COVID-19. “Gila, pemerintah gak ada uang. Nol!” Kasarnya begitu.
Jadi fokus saja tangani keselamatan nyawa rakyat dan lindungi perut mereka. Tidak usah ngelantur ke mana-mana.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)