Saya baru baca berita ini dari Kompas.
Menteri BUMN Erick Thohir mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-9/MBU/08/2020 tentang Staf Ahli Bagi Direksi BUMN. Poinnya mengizinkan direksi BUMN mempekerjakan staf ahli sebanyak-banyaknya 5 orang untuk bekerja di bawah direksi dengan honorarium maksimal Rp50 juta/bulan/orang. Tugas staf ahli itu memberikan analisis dan rekomendasi penyelesaian atas permasalahan strategis dan tugas lainnya berdasarkan penugasan yang diberikan direksi.
Saat ini terdapat 107 BUMN. Dengan asumsi seluruh slot terisi berarti anggaran untuk honorarium para staf ahli itu adalah Rp250 juta/BUMN/bulan. Rp3 miliar/BUMN/tahun. Total: Rp321 miliar/tahun/107 BUMN.
Staf Khusus (bedakan dengan staf ahli) Menteri BUMN Arya Sinulingga berdalih surat Erick itu dibuat agar BUMN transparan dalam mengangkat staf ahli. Sebab banyak perusahaan negara selama ini mengangkat staf ahli hingga 12 orang dan bergaji lebih dari Rp100 juta/bulan. Contohnya di PLN, Pertamina, dan Inalum.
Kabar itu selintas menunjukkan perubahan yang berakhlak di bawah nakhoda baru BUMN. Pun solutip sekali bagi problem komunikasi strategis sang menteri. Selama ini ia cenderung diberitakan memecat orang, kini diubah persepsinya jadi mengangkat orang. Peristiwanya sama, pelintirannya saja yang berbeda.
Secara nalar, kebijakan itu aneh.
Memperbolehkan berarti mengizinkan sesuatu yang sebelumnya dilarang. Mengangkat staf ahli dilarang berdasarkan surat menteri sebelumnya (Dahlan Iskan dan Rini Sumarno) dengan pertimbangan antara lain inefisiensi dan memang pada dasarnya jabatan staf ahli tidak termasuk organ perseroan (RUPS, direksi, komisaris).
Dengan demikian, kebijakan Menteri Erick itu memperbolehkan sesuatu hal yang sebetulnya dilarang, tidak tepat, dan boros. Jelas menyimpang dari tujuan sebuah badan hukum profit.
Kalaupun ada BUMN yang mengangkat hingga 12 staf ahli dengan gaji lebih dari Rp100 juta, tunjukkan bukti dan laporkan secara hukum, penjarakan! Solusinya bukan membuat peraturan baru yang membatasi jumlah orang dan nominal uangnya. Wong itu masalah pelanggaran hukum, kok.
Soal gaji, apa betul perbandingannya? Jika gaji staf ahli BUMN Rp100 juta lebih, pertanyaannya gaji komisarisnya berapa. Setahu saya gaji komisaris BUMN terbesar adalah PLN, yaitu Rp125 juta. Gila betul jika gaji staf ahli melebihi komisaris.
Anggota Direksi BUMN diangkat berdasarkan pertimbangan keahlian... (Pasal 16 ayat 1 UU 19/2003 tentang BUMN). Direksi yang berarti orang yang ahli harus mengangkat 5 orang staf ahli (jabatan yang bukan organ perusahaan), padahal ada anggota direksi lain (yang berarti ahli juga) dan komisaris (pengawas yang diangkat karena pertimbangan integritas dan memahami masalah strategis). Tidak masuk nalar.
Apa pula relevansinya staf ahli dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN yaitu memberikan sumbangan bagi penerimaan negara, mengejar keuntungan, kemanfaatan umum, perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan sektor swasta dan koperasi, serta aktif membantu pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Dari Rp210 triliun pendapatan BUMN (2018-2019), 76% disumbang 15 BUMN saja. Artinya BUMN kita banyak ruginya. Bagaimana bisa perusahaan rugi ditambahi beban menggaji orang pada jabatan yang tidak termasuk organ perusahaan, padahal sudah ada orang ahli yakni direksi itu sendiri.
Jika BUMN ngeles dengan mengatakan BUMN tidak hanya mengejar profit tapi ada misi sosial, solusinya seharusnya adalah 15 BUMN saja yang dipertahankan, sisanya buat yayasan! Apapun itu, yang jelas bukan dengan menambah beban gaji staf ahli.
Jika kebijakan itu tidak bernalar dan membebani perseroan, mengapa dilanjutkan? Jawabannya sederhana: karena dia berkuasa. Orang berkuasa, bebas. Bukan Badan Usaha Milik Negara melainkan Badan Usaha Milik-nya.
Mengapa Presiden Jokowi tidak ‘memveto’ kebijakan itu, jawabannya juga sederhana: karena Presiden sayang sama yang bersangkutan. Biasanya, orang tidak bisa jatuh cinta dan bernalar sekaligus.
Itu pikiran liar saya saja.
Jika jabatan staf ahli direksi BUMN itu diperlakukan sebagai iming-iming bagi banyak kalangan relawan yang belum mendapatkan jatah di formasi pengurus BUMN (direksi dan komisaris)—toh kita sudah mahfum pemenang pemilu dapat semuanya—-pertanyaannya, orang-orang yang jadi direksi dan komisaris BUMN sekarang ini orang-orang siapa dan dari mana kalau bukan dari relawan? Kalau mereka profesional dan ahli, mengapa butuh lagi staf ahli?
Kesimpulannya adalah ini semua bukan merupakan wujud perubahan BUMN ke arah yang lebih profesional dan baik. Ini langkah politik yang memanfaatkan BUMN.
Salam instal ulang.
(By Agustinus Edy Kristianto)