Adam Glapinski, Gubernur Bank Nasional Polandia, mengatakan bahwa "emas melambangkan kekuatan [sebuah] negara".
Sejak awal tahun 2020, Bank Sentral Turki telah membeli 148 ton emas, menjadikannya pembeli resmi emas terbesar tahun ini.
Turki kini merangsek berada di posisi ke 11, pemilik cadangan emas terbesar dunia.
Ajaibnya di masa pandemi COVID-19, Bank Central Turki selama periode Januari-Juli belanja emas murni seberat 19.5 ton. Cadangan emas Turki meningkat menjadi 602 ton (per September 2020). Turki masuk menjadi negara ke 12 dengan pasokan emas terbanyak.
Turki fokus pada cadangan emas, mungkin karena secara hubungan politik dengan AS memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintahan Trump menjatuhkan sanksi kepada Turki pada 2018 atas penahanan seorang pendeta Amerika oleh otoritas Turki. Ditambah Turki memperoleh sistem rudal permukaan-ke-udara dari Rusia 2019, dan AS menolak ekstradisi Gulen yang dituduh terlibat dalam upaya kudeta terhadap Erdogan pada 2016.
Jika hubungan semakin memburuk dan AS memperketat sanksi, Turki berisiko tidak dapat memperoleh dolar AS untuk penyelesaian pembayaran. Terlebih Presiden AS Donald Trump menandatangani undang-undang yang memblokir bank-bank di China untuk mendapatkan dolar, sebagai tanggapan atas undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan di Hong Kong.
Ada satu tanda peringatan bahwa Turki bisa saja mengalami nasib yang sama seperti Cina. Pada bulan Maret, ketika pandemi global mengguncang pasar keuangan global, Federal Reserve AS membuka jalur pertukaran likuiditas kepada sejumlah bank sentral yang menghadapi kekurangan dolar. Namun Turki mencolok tidak masuk dalam daftar penerima.
"Ada kemungkinan hal itu memicu kecemasan Turki bahwa mereka tidak dapat bergantung pada AS dalam keadaan darurat," kata Hirayama, analisa Nikkei Asia Times.
Melemahnya mata uang Turki ditenggarai lebih karena faktor politis, daripada faktor ekonomi.
"Sepanjang sejarah mereka yang tidak bisa menundukan negara kami dengan diplomasi, pertahanan dan bidang militer selalu memakai ekonomi sebagai senjata," kata Presiden Erdoğan dalam pertemuan dengan perusahaan asuransi Turkiye Sigorta, seperti dikutip oleh surat kabar Hürriyet Daily, Selasa (8/9/2020).
Erdoğan mengatakan negara-negara itu sebelumnya bisa meraih tujuan mereka karena perekonomi Turki 'tidak cukup kuat'. Nilai mata uang, bunga utang, dan inflasi selalu digunakan sebagai senjata untuk mengalahkan Turki.
"Negara kami sudah melewati hidup di mana bunga dapat naik 7.500 persen dalam satu malam, kami telah melihat periode ketika pajak pendapatan tidak dapat menutupi untuk membayar bunga utang, ada masa berbahaya di mana kami tidak mampu membayar gaji pegawai negeri sipil," tegas Presiden Erdogan.
Erdogan mengungkit masa di mana birokrasi ekonomi Turki benar-benar terkucilkan. Saat keuangan dan perbendaharaan negara itu harus diserahkan ke IMF. "Perekonomian kami yang nilai tukar, bunga, dan inflasinya dibawa ke dalam spiral, telah miring selama bertahun-tahun dengan krisis yang berulang setiap 10 tahun sekali, Turki tidak dapat menggunakan potensinya sementara negara lain yang sama-sama mulai proses pembangunan mulai maju, kami harus segera mengakhiri lingkaran jahat ini dengan reformasi yang sudah diimplementasikan sejak 2002 dan mencegah sumber daya dan waktu ekonomi terbuang," kata Erdoğan.
Media Barat menyanyangkan sikap keras Erdogan. Para analis menyebutnya, Erdogan lebih suka cara cepat menghadapi "masalah mata uang". Di antaranya, mengatur aliran cash mata uang asing dari Qatar dan berbisnis dengan mata uang masing-masing.
Saya bukan ahli ekonomi. Cukup simpel saja memahami. Kalau negara dengan dana R&D milyaran dollar, memiliki 1600 lebih proyek strategis, hampir tiap minggu meresmikan pembangunan bandara, RS skala internasional, ratusan kilometer jalan, menaikkan upah tenaga kesehatan per bulan hingga 9 juta per orang, lalu memuliakan 4 juta lebih pengungsi, mampu melakukan operasi tempur di banyak negara, apakah itu krisis?
(By: Nandang Burhanudin)