Para Pelawak di Musim Pagebluk
Pada masa pandemi, harapan, kabar bohong, dan lelucon bisa datang silih berganti kadang-kadang sendiri-sendiri, kadang-kadang berkelindan satu dengan yang lain. Itulah yang terjadi ketika banyak orang percaya kepada seseorang bernama Hadi Pranoto yang mengklaim telah menciptakan obat anti-Covid-19.
Muncul dalam wawancara dengan Erdian Aji Prihartanto alias Anji dan diunggah dalam akun YouTube milik musikus terkenal itu, Hadi melontarkan klaim obat yang dibuatnya telah menyembuhkan 250 ribu orang. Agar seolah-olah melihat cahaya di ujung lorong, tak perlu repot-repot mencari tahu berapa orang yang telah terinfeksi corona pada 31 Juli lalu, hari ketika video wawancara itu diunggah. Soalnya, dengan sekali klik, kita tahu bahwa, hingga awal Agustus, jumlah kasus positif corona di Indonesia baru 111 ribu saja—jauh di bawah jumlah pasien yang diobati Hadi.
Kecewa? Sebaiknya jangan. Ikuti saja logika Hadi.
Menurut sang profesor, yang entah kenapa riwayat hidup dan kariernya sebagai ahli kesehatan tidak tercatat di Google, virus asal Wuhan, Cina, itu telah bermutasi menjadi 1.153 varian serta dapat menular melalui sentuhan kulit dan keringat. Tak perlu terlalu kritis bertanya bagaimana Hadi bisa menghitung varian tersebut atau menyimpulkan Covid-19 bisa menular laksana cacar air. Pejamkan mata dan yakini: ada seorang juru selamat yang tengah datang memberi solusi.
Jika Anda menolak saran itu—setidaknya menolak menjadi tolol dan anti-sains—jangan pula berang kepada keduanya. Anggap saja Hadi dan Anji pelawak yang tengah menghibur.
Anji mungkin pelawak yang sadar khalayak. Dengan 3,6 juta pengikut di YouTube, videonya dalam sekejap ditonton ribuan orang, meski belakangan ditarik manajemen kanal karena dituding menguarkan kabar bohong. Dengan kata lain, boleh jadi ada motif bisnis juga. Anji mempraktikkan apa yang saat ini telah jadi umum: orang memilih informasi berdasarkan keyakinan yang mereka miliki. Anji mungkin melihat fakta ini sebagai peluang: lewat wawancara itu, diharapkan penonton kanalnya menjadi semakin banyak. Jangan mempersoalkan konsistensi, betapapun sebelum ribut-ribut ini Anji percaya bahwa Covid-19 cuma khayalan.
Tak perlu pula repot-repot melaporkan dia ke polisi. Tujuan lelucon, toh, agar penonton tertawa. Apalagi guyon semacam itu bukanlah yang pertama. Pemerintah pernah melakukan hal serupa. Kementerian Pertanian, misalnya, pernah mempromosikan kalung anti-corona.
Presiden Jokowi bahkan menyatakan temperatur tinggi dan lembap di Indonesia dapat membunuh virus corona. Hingga musim kemarau datang, jumlah pasien positif bukan berkurang, malah semakin banyak saja.
Supaya bisa dibedakan dengan tegas mana harapan dan mana lawakan, para tokoh publik anti-sains sebaiknya membuat asosiasi bersama. Anji bisa jadi ketua. Jerinx, drummer kelompok musik Superman is Dead, yang juga menganggap pagebluk ini cuma bikinan, bisa jadi wakilnya. Pejabat anti-sains bisa mendaftar sebagai anggota dewan pembina.
Asosiasi ini boleh bicara apa saja. Mereka boleh berdemo, membikin meme dan kampanye media sosial, serta merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Polisi tidak boleh menangkap mereka. Pejabat yang tertarik masuk organisasi ini sebaiknya dinonaktifkan dari posnya agar lebih fokus di tempat yang baru.
Birokrasi, dari kabinet hingga pejabat di tingkat desa, biarlah diisi mereka yang percaya kepada ilmu pengetahuan saja. Para epidemiolog dan pengambil kebijakan harus bekerja keras melawan pagebluk. Jika jenuh, mereka dapat menengok kampanye organisasi baru itu agar terhibur.
Oh ya, kami mengusulkan lembaga baru itu diberi nama Asosiasi Nasional Jaringan Indonesia Anti-Covid. Disingkat Anjrit-Covid.
[Editorial Tempo, 4/8/2020]
(Sumber: Tempo)