Menunggu Pidato Anies Baswedan
Oleh: Tony Rosyid | Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Bagi bangsa Indonesia, 17 Agustus itu sakral dan monumental. Itu adalah hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Momen yang oleh bangsa ini diabadikan tidak saja dalam bentuk peringatan, tapi sudah menjadi bagian dari ritual kebangsaan.
Setiap 17 Agustus, evoria bernostalgia demikian meriah di setiap penjuru hingga pelosok negeri ini. Selain lomba, terdengar pidato para pimpinan dan pejabat negara. Mulai dari pimpinan pusat hingga pejabat daerah. Terbersit kalimat tanya: "Apakah pidato-pidato itu mampu memberi efek bagi perubahan bangsa?"
Dari waktu ke waktu, pidato para pejabat dan elit bangsa itu seringkali tak lebih hebat dari lomba emak-emak posyandu dan remaja karang taruna. Monoton, normatif, dan biasa-biasa saja. Makin panjang pidato, makin membosankan. Dan rakyat tak paham, apalagi tersentuh hatinya. Mungkin karena demokrasi kita seringkali melahirkan para pemimin preman.
Tak ada yang beda dalam pidato itu, apalagi mengejutkan. Semua ucapan berputar pada kalimat "terima kasih dan memberikan apresiasi sedalam-dalamnya kepada para pejuang bangsa". Dengan sedikit dibumbui cerita sejarah perjuangan yang heroik. Lalu, apa bentuk terima kasih dan apresiasi itu? Tak lebih dari struktur kata dan ungkapan kalimat belaka yang setiap tahun diputar "secara live" di depan rakyat.
Tahun lalu, tepatnya tanggal 17 Agustus 2019, di depan masyarakat Jakarta, pemimpin DKI, Anies Baswedan berpidato. Kali ini, ada yang beda. Sebab, dalam pidato Anies, ada tindakan. Ada kebijakan. Ada juga keputusan. Sebuah kebijakan dan keputusan yang mengejutkan.
Dalam pidatonya, Anies memberi apresiasi lebih konkret kepada para pejuang bangsa. Salah satu apresiasinya, Anies membebaskan beban pajak kepada tanah dan bangunan dimana para pejuang negeri ini pernah tinggal. Ahli warisnya kini tak lagi punya beban untuk membayar pajak. Suatu kebijakan berani dan revolusioner. Karena, tak pernah terpikirkan oleh siapapun, termasuk oleh ahli waris para pejuang itu. Berisiko terhadap pemasukan atau pendapatan pemerintah daerah.
Anies katakan: "Banyak para pejuang yang memperjuangkan kemerdekaan tanah ini tidak bisa membayar pajak di tanah yang mereka tinggal".
"Bukankah ironi," lanjut Anies. "Mereka berjuang untuk kita, mengusir penjajah dari tanah ini, mereka terusir dari rumahnya karena pajak yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka."
"Mulai tahun ini," kata Anies "para pejuang dan anak turunannya, di rumahnya, tidak harus bayar pajak di Jakarta." Bebas!
"Seorang yang amat berjasa pada Jakarta, justru kita pajakin sebesar-besarnya. Sekarang kita ubah, semua orang yang berjasa untuk Republik ini, inilah Ibu Kota, dan Ibu Kota menyampaikan terima kasih dan apresiasi untuk semua. Dengan apa, membebaskan mereka dari pajak bumi dan bangunan". Jelas Anies.
"Saya, kami dan generasi Republik yang harus menyampaikan terima kasih telah berjuang untuk bangsa Indonesia. Ini adalah hutang budi yang kami tidak tahu bagaimana kita bisa melunasinya." Begitu cuplikan pidato Anies tanggal 17 Agustus 2019, setahun lalu di Ancol. Pidato yang terukur kualitas dan kelasnya.
Yang dibutuhkan dari seorang pemimpin bukan hanya sekedar susunan kata, tapi keutuhan kalimat yang mampu menggerakkan terjadinya perubahan yang bisa secara langsung dirasakan oleh rakyat yang dipimpinnya. Maka, seorang pemimpin mesti punya narasi yang terukur, baik secara konseptual maupun konstektual.
Konseptual artinya, punya basis pertimbangan yang matang. Termasuk menghitung manfaat dan dampaknya. Konstektual artinya, sesuai kebutuhan -dan memberi solusi bagi problem rakyat- pada zamannya. Dalam konteks ini, Anies layak disebut sebagai pemimpin zaman. Kata-katanya dipahami, dirasakan dan pada akhirnya secara nyata bisa dinikmati efeknya oleh rakyat. Terukur dalam kata dan tindakan.
Besok, hari senen, 17 Agustus 2020 masyarakat Jakarta, mungkin juga Indonesia, menunggu apa yang akan disampaikan gubernur Jakarta ini dalam pidato hari kemerdekaan 17 Agustus 2020. Terobosan apa yang akan disampaikan orang nomor satu di Ibu Kota ini di hari sakral esok hari.
Jakarta, 16 Agustus 2020