"Tikus Pithi" Menantang Gibran?
Oleh: Made Supriatma*
Mungkinkah organisasi yang mengaku mewakili wong cilik ini hanya sekedar kepanjangan tangan kelas oligarki?
Beberapa waktu lalu, saya memperkirakan bahwa kotak kosong akan menjadi lawan sulit bagi Gibran di Pilwakot Solo. Nanti akan dicarikan lawan kualitas ayam "Wareng." Wareng adalah ayam kate yang galak di depan kandang. Kokoknya keras. Kepak sayapnya menggetarkan. Namun lari terbirit-birit kalau disamperin.
Beberapa hari lalu, saya mendapat kabar bahwa sekarang Gibran akan mendapat lawan, yakni pasangan Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo). Mereka adalah calon independen yang berhasil mengumpulkan dukungan sebanyak 38 ribu lebih dari 35 ribu yang disyaratkan.
Uniknya pasangan ini adalah orang-orang biasa. Mereka mengaku sebagai 'wong cilik' (orang kecil), istilah yang biasa dipakai sebagai lawan dari elit. Pasangan kandidat ini memang bukan siapa-siapa. Bagyo sehari-harinya bekerja sebagai tukang jahit. Sementara Supardjo adalah karyawan di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK). Hanya Supardjo yang saat ini menduduki jabatan publik, yakni sebagai Ketua RW di Pajang, Laweyan.
Kedua pasangan calon walikota ini ternyata didukung oleh organisasi yang bernama Tikus Pithi Hanata Baris. Tikus Pithi adalah tikus kecil. Yang menarik perhatian saya adalah bahwa organisasi ini bukan gerakan yang baru. Mereka mengaku sudah ada sejak tahun 2014.
Saya melihat beberapa video di Youtube yang memperlihatkan mereka berdemontrasi pada saat Pilpres 2019. Mereka maju dari jalur independent. Mereka berdemo di depan Kantor DPRD DIY dan bahkan juga sempat berdemo di depan gedung DPR-RI. Mereka mengajukan ketua mereka, Tuntas Subagyo, sebagai calon presiden dari jalur independen. Tentu saja tidak ada yang menggubris mereka karena undang-undang pemilu tidak mengenal adanya calon independen dalam pemilihan presiden.
Sementara Tuntas Subagyo sendiri adalah sosok yang kontroversial. Dia adalah ketua umum dari Yayasan Nuswantara. Yayasan ini mengklaim akan mencairkan dana milik Presiden RI Ir. Sukarno yang disimpan di sebuah bank di Swiss. Yayasan ini juga dituduh melakukan penipuan karena mengutip ‘dana talangan’ untuk mencairkan dana dari Swiss tersebut sebesar Rp 100 ribu dari para anggotanya.
Tikus Pithi ternyata tidak hanya mengajukan calon independent di Solo. Mereka juga mengaku mengajukan calon independent di Boyolali, Sragen, Demak, Blora, Kendal dan Rembang. Saya sempat melihat calon Tikus Pithi di Bantul, DIY. Namun agaknya calon mereka tidak mendapat angin.
Pertanyaannya kemudian, apakah pasangan Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo) dan Tikus Pithi ini nyata? Apakah mereka tidak muncul hanya sebagai calon boneka agar pasangan Gibran Rakabuming - Teguh Prakosa tidak melawan kotak kosong?
Saya terus terang tidak berani menjatuhkan dakwaan apapun juga.
Sekalipun saya tahu persis bahwa mengumpulkan 41 ribu KTP dan tandatangan (hanya 38 ribu lebih yang diverifikasi sah) itu bukan perkara yang mudah. Saya melihat pengalaman beberapa teman yang maju lewat jalur independent. Keruwetan dimulai dari pengumpulan KTP dan tandatangan. Kemudian proses verifikasi di KPU yang njlimet dan seringkali ‘ajaib.’
Pasangan Bajo ini mengaku sudah mulai mengumpulkan KTP dan dukungan sejak sembilan bulan lalu. Mereka mengaku mengumpulkan dukungan dengan taktik sekasur, serumah, dan sesumur.
Jika mereka mendapat dukungan satu orang, maka mereka akan mendorong supaya orang itu mengajak pasangannya untuk mendukung. Inilah yang dinamakan sekasur. Kemudian dukungan ini diperluas menjadi serumah, yang artinya mempengaruhi anggota-anggota keluarga dan kerabat terdekat. Dukungan ini kemudian diperluas dengan sesumur, yaitu mempengaruhi tetangga dan masyarakat sekitar.
Sesungguhnya saya agak akrab dengan taktik penggalangan suara ini. Karena pada jaman Orde Baru, taktik inilah yang dilakukan oleh Golkar. Hanya saja ketika itu, Golkar punya tentara dan Kopri untuk membantunya mengkonsolidasikan sekasur, serumah, dan sesumur ini.
Apakah benar Tikus Pithi ini memiliki gerakan yang sedemikian besar? 41 ribu menurut saya bukan jumlah yang sedikit. Memobilisasi orang dalam jumlah sebesar itu bukan perkara yang mudah. Sekalipun mobilisasi ini dilakukan dengan persuasi seperti klaim diatas, dia membutuhkan beaya yang amat besar. 41 ribu itu berarti 41 ribu fotocopy KTP dan surat dukungan. Jika organisasinya rapi, setiap dukungan juga harus dimasukkan kedalam satu map. Belum lagi relawan-relawan yang dibutuhkan untuk mengumpulkan dukungan ini.
Namun saya juga tidak menafikan bahwa jargon-jargon wong cilik yang dipakai Tikus Pithi bisa jadi menarik massa-rakyat yang selama ini tidak pernah berada dalam kalkulus politik para elit negeri ini. Orang-orang kecil yang merasa dikadali seumur hidupnya tiba-tiba merasa mendapatkan suaranya lewat Tikus Pithi. Ini juga sangat mungkin terjadi. Saya sama sekali tidak mau meremehkan kemungkinan basis massa Tikus Pithi ini. Kalau ini yang terjadi, maka Tikus Pithi adalah organisasi pertama yang mampu melakukannya.
Saya tentu berharap bahwa Tikus Pithi ini adalah sesuatu yang riil, sebuah kekuatan politik yang benar-benar tumbuh dari bawah dan didukung oleh wong cilik seluruh Kota Solo. Yang tidak saya harapkan adalah bahwa Tikus Pithi ini ternyata adalah Tikus Wirok yang diberi makan sisa-sisa nasi kelas oligarki di negeri ini.
*Sumber: https://supriatma.substack.com/p/tikus-pithi-menantang-gibran