Hulu Masalah Djoko Tjandra
Belum ada yang layak berbangga menjadi pahlawan dalam kasus Joker. Jangan karena penegakan hukum kita pada masa lalu begitu carut-marut lalu kita seolah dipaksa memiliki standar yang rendah untuk menilai kinerja pemerintah dan aparat penegak hukum.
Joker ditangkap lalu menjalankan putusan pidana memang seharusnya begitu diterapkan kepada segala warga negara yang sama kedudukannya di muka hukum. Jika itu tidak terjadi, berarti tidak ragu kita mengatakan hukum di negara ini buruk.
Siapa saja yang cermat membaca berkas perkara Joker bisa menarik benang merah bahwa hulu masalah adalah pejabat-pejabat negara yang bisa dipengaruhi. Kasarnya: bisa disuap.
Jualan Joker adalah ia menyanggupi pencairan tagihan Bank Bali terhadap BDNI dengan cara mempengaruhi pejabat yang mempunyai otoritas... Ia memfasilitasi pertemuan antara pejabat-pejabat moneter dalam membahas klaim Bank Bali...
Semua itu dilakukan dengan kesadaran dan niat bersama dengan pihak-pihak yang merupakan pejabat teras seperti Ketua Dewan Pertimbangan Agung, bendahara parpol, Menteri Negara Pembinaan BUMN, Wakil Ketua BPPN, hingga Gubernur Bank Indonesia... (Putusan No. 12 PK/Pid.Sus/2009).
Mengapa Joker memilih lari dan tidak menjalani pidana yang ‘hanya’ 2 tahun itu sambil nanti mengurus remisi hingga asimiliasi? Apa hanya karena pertimbangan agar Rp546 miliar di rekening Era Giat Prima tidak dirampas negara?
Padahal sebenarnya memilih lari dan berstatus buron, sangat tidak enak dilihat sebagai konsumsi berita anak dan cucu yang bersangkutan.
Kita tidak tahu persisnya. Tapi dari sudut pandang pemain (baca: broker) yang menjadikan proses hukum sebagai komoditas yang melahirkan bisnis jasa, menganjurkan Joker lari sambil mencari celah upaya hukum berikutnya kelihatannya lebih menguntungkan.
Di mana ada taipan kesulitan, di situlah bisnis jasa bermekaran. Jasa apa saja!
Joker hanya baru secuil kisah kekacauan hukum peristiwa BLBI. Triliunan rupiah uang negara dilumat dan dari situlah awal akumulasi kapital yang menjadikan struktur konglomerasi Indonesia berlangsung seperti sekarang. Ada sebagian kecil yang sangat kaya, ada yang sangat miskin sebagian besarnya.
Kita mesti melihat penegakan hukum di Indonesia berlangsung dalam situasi pengendalian yang dilakukan oleh segelintir pihak. Jika dulu pejabat-pejabat bisa dipengaruhi dengan segala macam kenikmatan materi, apakah itu sudah berubah sekarang? Belum tentu. Penguasa dan pengusaha sangat mungkin saling memegang kartu truf. Itu terjadi di negara lain juga.
Hari ini ada berita Joker memberikan kuasa kepada pengacara Otto Hasibuan untuk mendampingi. Langsung menonjok dengan ‘memprotes’ mengapa Joker ditahan padahal putusan PK tidak memerintahkan begitu (menurut polisi Joker ditahan atas kasus surat jalan bukan kasus cessie). Tonjokan berikutnya adalah kepastian bahwa Joker akan mengajukan (lagi) PK.
Otto adalah kuasa hukum Sjamsul Nursalim (BDNI) dalam perkara gugatan terhadap auditor BPK beberapa waktu lalu. Selepas putusan onslag (lepas dari tuntutan) terhadap mantan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung dalam perkara Surat Keterangan Lunas (SKL) SN, Otto pernah berkata KPK sebaiknya menyerahkan perkara SN kepada kejaksaan atau kepolisian untuk dihentikan. Putusan Syafruddin bisa dijadikan alasan pembenar untuk menghentikan penyidikan SN yang saat ini berstatus DPO KPK.
KPK sendiri masih ruwet berkutat dengan permasalahan Rp4,58 triliun aset tagihan petambak Dipasena yang sebetulnya oleh MA secara tersirat dalam putusan Syafruddin telah disebut sebagai masuk ranah perdata.
Tapi apapun itu, secara strategis, (mungkin) saling melindungi adalah perlu. Daripada seluruh lahan terbakar!
Sampai titik ini layak kita bertanya, mau sejauh mana negara ini buka-bukaan tentang kasus masa lalu?
Siapa melibatkan siapa, siapa mendapatkan apa, siapa menjadi apa sekarang...
Bisa jadi Presiden Jokowi dianggap sebagai anak baru dalam taman bermain ini.
Triliunan uang yang dibuang negara ini dalam peristiwa BLBI sudah menyebar jauh, mengakar, dinikmati banyak pihak, mempengaruhi dapur banyak keluarga, serta membentuk tunas-tunas baru yang disadari atau tidak membentuk apa yang disebut sistem hukum dan politik negara kesatuan Republik Indonesia.
(BY Agustinus Edy Kristianto)