DUA "CACAT" PILKADA
Oleh: Tarli Nugroho
Ada dua persoalan kenapa Pilkada Kota Solo, atau daerah lainnya, terancam hanya akan diikuti oleh satu pasangan calon saja, kecuali nanti muncul calon independen yang lolos verifikasi. Pertama, adanya syarat ambang batas 20 persen dalam UU Pilkada. Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan bahwa "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan".
Syarat 20 persen ini terbukti tidak memberi masyarakat pilihan yang heterogen. Meski secara matematis ambang batas 20 persen telah memberi peluang bagi munculnya 5 pasangan calon, namun praktiknya tidak pernah demikian. Minus calon independen, umumnya jumlah pasangan calon kepala daerah tak banyak yang menghasilkan lebih dari dua pasangan saja. Sebab, logika pengelompokkan politik memang berbeda dengan logika matematis.
Di daerah-daerah yang kursi DPRD-nya dikuasai oleh satu atau dua partai politik, kondisinya lebih buruk lagi. Solo adalah contoh konkretnya. Saat ini hanya ada 6 partai politik yang punya kursi di DPRD Kota Solo. Selain PDIP, yang menguasai 30 kursi (67 persen), tidak ada partai lain yang bisa mengajukan calon tanpa dukungan dari minimal tiga partai lainnya. Masalahnya, dengan hanya 5 partai tersisa, pengelompokkan politik semacam itu memang sulit terjadi.
PKS dan PAN, misalnya, tak akan pernah bisa mengajukan calon lain, karena jumlah kursi keduanya hanya 8. Masih kurang satu kursi. Demokrat, yang semula akan berkoalisi dengan PKS, juga tak bisa mengubah peta, karena mereka tak punya kursi di DPRD.
Adanya syarat ambang batas 20 persen ini bisa kita anggap sebagai "cacat materil" UU Pilkada, yang telah memperbesar peluang Pilkada hanya diikuti oleh calon tunggal. Ke depan, jika tak bisa ditiadakan, syarat ambang batas ini sebaiknya diturunkan menjadi 10 persen atau bahkan 5 persen saja.
Kedua, adanya "cacat mental" yang diidap oleh partai politik kita. Hampir semua partai saat ini bercorak patrimonial. Sehingga, kita sulit mengharapkan munculnya wajah politik egaliterian di tengah kultur demikian. Dengan hampir semua partai masuk ke dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, terbukti mereka tidak ada yang berani mengambil posisi berhadapan dengan anak atau menantu Presiden di ajang Pilkada.
Dengan cacat material dan cacat mental semacam itu, sulit bagi publik berharap bisa mendapatkan calon terbaik dalam Pilkada. Ini bukan hanya berlaku di Solo, tapi juga di daerah lainnya.
Ke depan, kita seharusnya memperbaiki dua cacat ini. Jika memperbaiki mental patrimonial memang sulit, setidaknya kita memperbaiki cacat material UU Pilkada dulu.[fb]