Tulisan ini rutin saya unggah ulang saban 21 Agustus. Buat menegaskan bahwa di balik kepahlawanan seseorang terkadang ada muslihat politikus atau golongan. Hasab dan legasi moreng Sukarno dalam melipat ketulusan eksponen islamis di tanah air seyogianya jadi pelajaran. Jangan lugu hadapi airmata genetika Sukarno, pun ismenya bila perlu.
***
Airmata Penunduk Abu Daud
Namanya Muhammad Daud. Sesuai kebiasaan di Aceh, daerah asal disematkan di nama. Jadilah ia dikenal luas sebagai Muhammad Daud Beureueh, dengan sapaan "Abu Daud". Bila Teuku Mohammad Hasan (tokoh Muhammadiyah dan PPKI) terlahir di Sigli, di daerah yang sama ini berdiri sekolah bentukan Daud Beureueh yang tersohor di seluruh Aceh: Madrasah Sa'adah Abadiah.
Kesabaran lelaki yang lahir pada 1898 itu berakhir. Ia harus mengangkat senjata bersama-sama ribuan pengikut setianya, dengan didukung rakyat Aceh yang amat menghormatinya. Bukan sebuah putusan yang dikehendaki kata hatinya apabila melihat kebaikan perangai dan pengorbanan yang dilakukannya ke Republik. Tapi pengingkaran janji berkali-kali diterimanya, melukai perasaan diri dan lebih-lebih sanubari rakyat Aceh. Padahal, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 tersiar sampai di Aceh, warga di sana menyambut penuh sukacita. Tidak tebersit sedikit pun kata berpisah apalagi merasa berbeda. Ikatan untuk menjadi satu dalam tanah air dan terutama agama begitu kokoh. Terlebih perasaan anti-kolonialisme berabad lamanya dibuktikan dengan perjuangan berdarah-darah di negeri Aceh. Perasaan senasib dengan saudara seiman di tempat lainnya ketika menghadapi kaum kafir penjajah terejawantah dengan indah.
Dan Sukarno, si lelaki dengan drama airmata paham betul kondisi batin dan kesetiaan rakyat Aceh, termasuk pemimpinnya.
“Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945,” pinta Sukarno kepada Daud Beureueh pada 1947 di Aceh.
"Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang ‘fisabilillah’, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid,” balas Daud Beureuh mantap.
"Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan- pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Tjhik di Tiro dan lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan ‘merdeka atau syahid’.”
“Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu, Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
“Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
"Maafkan saya, Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Sdr. Presiden."
“Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud Beureueh bukan seorang diplomat; ia juga tidak pernah bersekolah formal. Tapi ia melek huruf dan tahu bagaimana menyalakan marwah. Di hadapannya duduk seorang yang penuh karisma yang dielu-elukan oleh banyak manusia Jawa. Sosok yang piawai dalam membakar emosi pendengar kata-katanya.
“Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini,” sergah Daud Beureueh sambil menyodorkan secarik kertas kepada Presiden Sukarno.
Mendengar ucapan terakhir Daud Beureueh itu, langsung Presiden Sukarno menangis terisak-isak. Air matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. M. Nur El Ibrahimy melukiskan respons Sukarno dalam dialog di atas. Percakapan yang tersiar luas ini hasil wawancaranya dengan Daud Beureueh, yang termuat dalam buku Teungku Muhammad Daud Beureueh; Peranannya dalam pergolakan di Aceh, terbitan Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1982 halaman 64-65.
Dalam keadaan terisak-isak, tulis El Ibrahimy, Presiden Sukarno berkata, “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya.”
“Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden,” tanggap langsung Daud Beureueh. “Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”
Lantas Presiden Sukarno sambil menyeka air matanya berkata, “Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
“Saya tidak ragu lagi, Saudara Presiden,” jawab Daud Beureueh. “Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”
Iba hati Daud Beureueh melihat Presiden menangis terisak-isak. Ia pun tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Sukarno itu, tulis El Ibrahimy melukiskan kata-kata Daud Beureueh beberapa tahun kemudian.
Daud Beureueh paham arti janji; janji sesama lelaki Muslim pula, yang akan disampaikan kepada jutaan rakyat Aceh yang memercayainya. Di Jakarta, dua tahun sebelumnya Ki Bagus Hadikusuma memetik arti bersitegang dengan Sukarno soal dasar negara. Termasuk mengalami sendiri situasi tegang seputar pergantian “tujuh kata” dalam sila ketuhanan, dan pasal presiden beragama Islam dalam undang-undang dasar. Ahmad Syafii Maarif (1996) dalam Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, menyatakan bahwa Sukarno memang sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Salah satunya soal sila Ketuhanan dan penyebutan eksplisit dalam rumusan undang-undang dasar bahwa Presiden harus beragama Islam.
Sayangnya, Ki Bagus tak sempat bersua langsung dengan Daud Beureuh. Atau paling tidak mengirimkan pesan perlunya kehati-hatian menghadapi Sukarno, terutama kala ia berjanji dan menebar airmata.
“Sukarno pintar membuat orang lain senang. Tapi itu semua bukan keluar dari hati kecilnya. Ini semata taktik untuk menghilangkan kedongkolan orang yang tidak sependapat dengannya,” begitu ucap Ki Bagus suatu waktu kepada sang anak, Djarnawi Hadikusuma, sebagaimana tercatat dalam Derita Seorang Pemimpin.
Misalkan saja kalimat Ki Bagus itu sampai lebih awal ke Daud Beureuh, kita tak tahu drama apa di Aceh sana. Sayangnya, Sukarno berhasil memainkan drama airmata. Tepat persis di depan sosok penuh wibawa, "seorang ulama yang paling terkenal dan paling dihormati di Aceh dalam abad ini" dalam kata-kata James T. Siegel di bukunya The Rope of God (1969).
Inilah pelajaran ketika firasat seorang Muslim ditundukkan oleh airmata dan janji. Dan hari ini ada banyak asa dan angan diterbangkan dengan menyandar pada kebesaran nama si pengurai airmata di atas. Semestinya sebagai makhluk berakal, kita tak patut lengah. Memaafkan masa lalu tapi tak melupakan kelakuan manusia yang muda memgumbar airmata dengan lipatan hasrat mendusta di sebalik itu. []
Foto diambil dari buku El Ibrahimy hal 219. Teks ini edisi ringkas dari salah satu bahasan di buku Mufakat Firasat (2017).