5 Jam Bersama Anis Matta (Part 4)
Pak Anis menuangkan kopi ke cangkir saya. Menuangkan teh panas ke gelas sloki saya. Mengambilkan dari meja dan menyodorkan sendiri kue, jagung rebus, krupuk, dadar telor. Kenapa melakukan itu semua? Apa pamrihnya? Pencitraan sebagai tuan rumah yang baik? Memamerkan otot lengannya yang mirip-mirip lengan Deddy Corbuzier? Entahlah, saya tidak tahu. Cuman, secara akal sehat, tak ada keuntungan apapun yang akan diperolehnya jika ada udang di balik batu di sana. Waktu itu saya pun belum punya niat menulis serial ketemuan saya itu, dan Pak Anis tidak tahu saya akan menulisnya.
Apalagi sejauh yang saya tahu, tak ada yang mencela komitmen moral keagamaannya. Pastinya, Pak Anis lebih memilih sikap jiwa tulus dalam melayani tetamunya ketimbang pamrih. Hanya berharap pahala akhirat. Motif ketulusan itu juga terlihat pada penampilannya yang bersih dan rapi, tapi natural, apa adanya. Saya perhatikan saat dia keluar menemui saya pertama kalinya pagi itu, matanya masih tampak sembab pertanda baru bangun tidur dan basuh muka ala kadarnya. Mungkin usai sholat shubuh lanjut tidur lagi. Mestinya, seorang pesohor butuh berlama-lama di depan cermin sebelum bertemu orang. Sembab seperti itu harus dihilangkan dulu dengan facial treatment tertentu.
Kan sudah jelas protokolnya, performance jaim apalagi ditambah simbol-simbol agamisnya seorang ketum parpol bisa dikapitalisasi menjadi magnet pengumpul suara dukungan politik. Apalagi jika atasannya ketum adalah seorang profesor doktor keagamaan yang selalu bersorban misalnya. Secara internal hal itupun kondusif bagi terbentuknya psikologis kader partai agar mudah tunduk patuh dalam spirit sami'naa wa atho'naa. Saya pancing pembicaraan ke arah sana, Pak Anis senyam-senyum saja. Katanya, yang begitu-begitu sudah termasuk dalam pengertian azas partai Gelora, yaitu Pancasila. Urusan berpartai politik di Indonesia jangan tercampur aduk dengan keyakinan keagamaan yang membentuk partai seolah lembaga suci nan sakral, dan pimpinan partai se-level malaikat atau sedikit di bawahnya.
Pada poin itu, saya sengaja meledek Pak Anis. Saya tahu, masa lalunya berpolitik dijalani dalam kesakralan semu semacam itu. Ya tahulah juga semua orang, partainya dulu juga mengurusi banyak hal yang biasa diurusi oleh yayasan sosial maupun ormas-ormas keagamaan. Fatwa-fatwa keagamaan, hingga penentuan hari lebaran juga dilakukan di sana. Sudah begitu, kader partai harus punya opini yang sama dalam merespon suatu isu kontemporer. Tidak boleh beda. Semua harus sesuai "wahyu" yang diturunkan tiap pekan dari langit antah berantah. Senyum Pak Anis makin lebar saja saya ledeki hingga terkekeh, mengandung makna kuatnya janji dia untuk takkan mengulanginya lagi di partai Gelora.
Lalu, seperti apa kiranya jalur ke depan partai barunya Pak Anis? "Kita harus belajar dari sejarah. Partai Masyumi menjadi besar karena memberi tempat kepada semua unsur golongan umat Islam. Partai nasionalis menjadi besar karena mengedepankan Pancasila dan konstitusi negara", kata Pak Anis. "Jika kedua aspek keberhasilan itu dioperasionalkan secara konsekwen, insyaAlloh partai Gelora menjadi besar", lanjutnya. Saya perhatikan saja mimik seriusnya. Haqqul yaqin, tak ada guratan ekspresi ambisi serakah atau arogansi di sana. Toh, Anis Matta pun sudah seringkali mengulang-ulang kata kunci dasar kerjasama partai barunya itu: kolaborasi.
Itu berarti, seorang Anis Matta takkan mempersoalkan siapa beragama apa, siapa bersuku apa, siapa bercelana cingkrang atau bersarung atau bercelana jeans robek-robek di dengkulnya, siapa merokok atau tidak, siapa berjilbab atau modis minimalis, siapa bertato atau tidak, siapa suka musik atau rebana, siapa berjenggot atau klimis, dan seterusnya.
Siapa pun anak bangsa yang punya tekad kuat meraih kesejahteraan bareng-bareng, dan siap menjayakan negeri ini, Indonesia tercinta, maka mereka sangat layak bersamanya di Partai Gelora. Dan tetap menjadi sahabatnya meskipun berada di partai yang lain. Inilah yang di tulisan serial sebelumnya saya sebut DNA Anis Matta adalah bhinneka tunggal ika. (Bersambung)
*Seri sebelumnya: 5 Jam Bersama Anis Matta (Part 3)
*Kelanjutan: 5 Jam Bersama Anis Matta (Part 5)