5 Jam Bersama Anis Matta (Part 3)


5 Jam Bersama Anis Matta (Part 3)

Oleh: Kyai Achmad Fathony

Secangkir kopi plus creamer, beberapa sloki teh panas, beberapa air minum kemasan 330 ml, roti coklat berisi pasta, jagung rebus, itulah hidangan yang saya masukkan perut selama ngobrol dengan Pak Anis Matta pagi hingga siang itu. Tepat di separo pertemuan, muncul hidangan nasi merah goreng dioplos irisan-irisan cumi, ditemani dadar telor, sambal dan kerupuk. Sesaat semua itu sempat terasa lezat, tapi segera terlupakan, oleh karena kelezatan materi perbincangan makin siang makin memuncak.

Meski Pak Anis tak bermaksud merangkum 20-an tahun kiprahnya dalam politik nasional, saya bisa merangkai cuplikan-cuplikan yang disampaikannya dalam kesatuan perjalanan waktu. Di situlah saya pahami konteks kejadian-kejadian, sesuatu yang membuat kita tidak bisa diprovokasi untuk membenci, memusuhi, dan memvonis Pak Anis sebagai pengkhianat bagi siapapun. Apalagi tuduhan bahwa seorang Anis Matta adalah agen asing, waduh, bisa jadi bakal kuwalat tujuh turunan itu penuduhnya.

"Saya sangat memegangi prinsip kejujuran. Dan sering saya buktikan, politisi jika sudah berbohong sekali saja, habislah dia. Ini, jagalah ini," katanya sambil jari menunjuk mulut.

Hmmm, terbayang dalam benak saya, andai Pak Anis ini orang berkultur Suroboyoan, sama saja dia bilang begini, "Jogonen cangkemmu, rek. Ojok angger njeplak ae". Pernyataan itu muncul di saat Pak Anis mencuplik pengalamannya, khususnya saat di DPR. Para koleganya dari berbagai partai kadang baru beraksi sesudah lebih dulu melihat opsi yang diambil Pak Anis, terutama pada urusan terkait anggaran.

Apakah hal itu meniadakan serangan lawan politik? Nggak juga. Rekam jejak digital masih menyimpan dokumentasi tentang hal itu. Di sana, misalnya, ada heboh video porno yang pelakunya adalah sosok mirip Anis Matta. Ada pula pegawai pajak yang tetiba mengusut tanah dan rumahnya saat masih tinggal di Utan Kayu. Dan lain-lain. Yang paling seksi barangkali ini: Anis Matta 7 jam bersama penyidik KPK. Saya lihat, ungkapan Pak Anis hari itu seperti pelajar yang sedang mengulang pelajaran yang didapatnya dari pak guru di ruang kelas. Dan, pak guru itu bilang: anak-anak, lawan politik itu bisa dari mana saja lho, baik teman sekelasmu maupun kelas lain. Paham?

O, iya. Jujur, saya ke rumah pak Anis itu ingin juga mengintip kekayaannya yang konon melimpah ruah. Soalnya, tuduhan bahwa dia menyuap ustadz-ustadz di Surabaya dengan beberapa koper uang dollar agar ikut bersamanya di Partai Gelora, sudah saya buktikan. Itu hanya cangkem angger njeplak. Makanya, saya datang ke rumah Pak Anis yang ditinggalinya sejak 2016 itu ala seorang intel. Saya datang 1,5 jam sebelum ketemuan. Saya 3 kali bolak-balik melintas di depan rumahnya, menghitung pilar-pilar pagar rumahnya, mencari-cari kamera atau alat penyadap, nongkrong di warteg dan warkop dan menyelinap di musholla sekitaran rumahnya.

Ah, nggak. Seharusnya Pak Anis lebih kaya jika benar dia seorang koruptor, atau agen kepentingan asing. Saya tidak mungkin berkasihan kepada Pak Anis, lalu menasehatinya agar berhenti dari politik, dan hidup tenang mengasuh santri di pondok pesantren kecil-kecilan seperti saya. Dia orang yang ngotot, pantang mundur membersamai beragam suku dan agama masyarakat bangsanya mencapai kemakmuran dan kejayaan. Beruntung ibu pertiwi melahirkan Anis Matta. Alhamdulillah.

(30/8/2020)

Seri Sebelumnya: 5 Jam Bersama Anis Matta (Part 2)
Seri Lanjutan: 5 Jam Bersama Anis Matta (Part 4)

Baca juga :