Oleh: Reza Indragiri Amriel (Psikolog Forensik)
Kalimat-kalimat pada teks tersebut, ketika ditempel dengan foto semacam itu, merupakan bentuk stigmatisasi terhadap anak dengan identitas atau atribut sedemikian rupa.
Stigmatisasi yang berangkat dari prasangka negatif, berlanjut ke sikap merendahkan nilai/martabat anak. Stigma, pada gilirannya, bisa mendorong anak masuk ke situasi berisiko: didiskriminasi.
Untuk sementara, anggaplah anak-anak itu merupakan anak dari para orang tua seperti yang digambarkan dalam teks dimaksud. Yakni orang tua yang menjerumuskan anak-anak itu menjadi perusak.
Bahkan dengan asumsi seperti itu pun, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 sudah memberikan panduan tentang perlakuan yang seharusnya dikenakan kepada anak-anak tersebut. Perlakuan yang diistilahkan sebagai perlindungan khusus, spesifik butir k dan o pada pasal 59 ayat 2, yang dalam UU Perlindungan Anak diembankan sebagai kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya.
Artinya, terhadap anak-anak seperti itu pun tetap harus dikenakan perlakuan yang baik. Bukan justru dengan menstigmatisasi mereka.
Negara harus melindungi anak-anak dari stigma, tak terkecuali anak-anak seperti yang diasumsikan oleh Denny Siregar.
Semakin buruk karena isi stigma pada tulisan tersebut lagi-lagi mengait-ngaitkan secara serampangan bendera tertentu sebagai simbol kekerasan/kejahatan. Narasi keliru semacam ini pernah marak beberapa waktu lalu. Sudah dikoreksi oleh Kemendagri (https://m.tribunnews.com/nasional/2017/07/23/kemendagri-yang-dilarang-bendera-hti-bukan-bendera-tauhid) dan MUI (https://kumparan.com/kumparannews/mui-bendera-tauhid-tak-identik-dengan-hti-sudah-ada-sejak-dulu-1rcbA4K1ToF). Tapi narasi salah tersebut kini diangkat kembali.
Jadi, tulisan itu mengandung permasalahan majemuk. Pertama, mendevaluasi anak-anak (dan orang tua mereka) bukanlah perbuatan yang baik, justru berdampak buruk terhadap anak. Lalu, isi stigmatisasinya salah pula.
Bahkan, dengan isi stigmatisasi yang salah tersebut, penulis abai terhadap apa yang semestinya dilakukan negara terhadap anak-anak seperti yang penulis asumsikan.
Negara hadir untuk semua anak tanpa pengecualian, bukan?
[IndonesiaInside]