Terdakwa Febi Nur Amelia (dua kanan) menangis mendengarkan kesaksian korban Fitriani Manurung saat sidang kasus UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), di Pengadilan Negeri, Medan. (Tribun Medan)
[PORTAL-ISLAM.ID] Keberadaan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali menjadi pembahasan di kalangan warganet.
Penyebabnya adalah kasus menagih utang lewat sosial media yang berujung tuntutan dua tahun penjara.
Mengutip Kompas TV (15/7/2020), Febi Nur Amelia, terdakwa kasus pencemaran nama baik dituntut dua tahun penjara dalam persidangan di Pengadilan Negeri Medan, Selasa (14/7/2020) sore.
Kasus tersebut bermula pada Februari 2019, Febi mengunggah status tentang menagih utang kepada Fitriani Manurung yang disebut istri Kombes Ilsarudin dan informasinya bertugas di Mabes Polri senilai Rp 70 juta.
Uang ditransfer ke rekening suami Fitriani pada 12 Desember 2016. Pada 2017, Febi menagih dan Fitriani mengaku belum bisa membayarnya lalu memblokir WhatsApp dan nomor seluler Febi.
Pada 2019, Febi mengirim pesan lewat Instagram. Namun, Fitriani malah menjawab tidak mengenal Febi dan tidak punya utang padanya.
Unggahan Febi ternyata membuat sang "Ibu Kombes" merasa malu dan merasa nama baiknya tercemar. Dia lalu melaporkan Febi. Kasusnya pun bergulir sampai Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Jaksa menjerat terdakwa dengan Undang-Undang ITE akibat menagih utang melalui media sosial.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Randi Tambunan dalam tuntutannya menyatakan Febi Nur Amelia bersalah dan terbukti melakukan pencemaran nama baik dengan melakukan penagihan utang kepada Fitriani Manurung lewat media sosial.
Atas perbuatannya, jaksa menuntut Febi dengan hukuman penjara selama 2 (dua) tahun yang dijerat dengan Pasal 45 Ayat 3 Juntho Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal Karet UU ITE
Bunyi Pasal 27 ayat 3 UU ITE adalah sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sementara itu ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016, yang berbunyi:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Mengutip Tribun Makassar (15/7/2020), Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Dr Syamsuddin Radjab SH MH menyebut keberadaan pasal 27 dalam UU ITE sudah melenceng dari tujuan awal pembentukan UU ITE.
"Pasal ini adalah pasal karet karena semua orang bisa masuk melaporkan, sehingga sekarang sudah ada satu profesi tukang lapor," kata Syamsuddin.
Pasal 27 UU ITE bahkan lebih berat hukumannya dibanding Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Karena setiap ada pelaporan maka undang-undang ITE yang dulu dipakai, KUHP pilihan kedua," kata Syamsuddin.
Rawan multitafsir
Mengutip Harian Kompas, Kamis (9/1/2020), Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan, tren pelaporan dugaan pelanggaran UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) meningkat signifikan tiap tahun.
Sejak 2017, peningkatan itu terus terjadi. Pada 2017, sebanyak 1.007 orang diselidiki terkait dengan dugaan pelanggaran UU ITE. Selanjutnya pada 2019 naik menjadi sekitar 3.000 orang.
Peningkatan jumlah kasus dipengaruhi pasal-pasal karet yang memungkinkan setiap individu atau kelompok melaporkan pihak tertentu. Pasal karet itu terutama Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE.
Salah satu pasal yang sering digunakan adalah Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang berbunyi:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sementara itu, mengutip Harian Kompas, Selasa (7/1/2020), Dari berbagai kritik terhadap UU ITE tampak bahwa UU ini dalam beberapa hal masih dianggap kurang menjamin kepastian hukum.
Beberapa perumusan bersifat multitafsir (karet) sehingga mengganggu kebebasan berekspresi (opini, kritik) di era demokrasi melalui Facebook, Twitter, Youtube, messenger (SMS, Whatsapp, dan BBM).
Di samping itu, UU ITE cenderung memicu perselisihan warga masyarakat yang dengan mudah melaporkan kepada penegak hukum dan menambah sumber konflik antara penguasa dan anggota masyarakat.
Beberapa pasal dianggap merupakan duplikasi dengan aturan KUHP. Selanjutnya, ada kesan UU ITE di satu pihak mengandung unsur perlindungan, tetapi juga mengandung ancaman dan mengakibatkan keresahan.
Nyiram air keras 1 thn, nagih utang 2 thn. Bener apa kata mba Nana, UU ITE kerap dipakai yg berkuasa. Digunakan utk membungkam keluh dan keberatan membisukan mereka yg sebenarnya korban. Publik menjadi ketakutan utk bersuara lantang kritik bisa dipidana sbg fitnah dan pencemaran. pic.twitter.com/AOZ1akLPOv
— nitip dulu (@nantibaliklagi) July 15, 2020
(Sumber: KOMPAS)