Memerangi Radikalisme atau Memerangi Agama?
Oleh: Ustadz Yahya Ibrahim. Lc
Para ulama dan da’i senantiasa memerangi pemikiran radikal dan berbagai alirannya yang muncul di tengah masyarakat muslim. Karena radikalisme agama bersumber dari kebodohan, kurang ilmu, kurang pemahaman atau ketidaktahuan tentang prinsip dan tujuan agama. Perang yang dilakukan para ulama adalah gerakan penyadaran dan penerangan agar umat kembali ke jalan agama yang lurus.
Hanya saja saat ini muncul pula kelompok orang yang berasal dari kalangan politisi, kaki tangan para penjajah, penyembah hawa nafsu dan para penjilat kekuasaan yang nyata-nyata memerangi agama atas nama perang terhadap radikalisme agama.
Dari siasat ini banyaklah umat Islam yang tertipu. Mereka kebingungan mana yang benar ajaran agama, mana yang hanya syubhat kaum radikal dan mana penyimpangan yang sengaja dilakukan para musuh agama.
Berhijab bagi wanita bukanlah bentuk radikalisme, berjenggot bukanlah radikalisme, Bahasa Arab bukanlah radikalisme, hafal Al-Qur’an bukanlah radikalisme, memilih pemimpin muslim bukanlah radikalisme, menolak hukum asing yang bertentangan dengan Islam bukanlah radikalisme, memperjuangkan hukum Islam bukanlah radikalisme, mempertahankan akhlak dan tradisi Islam bukanlah radikalisme, mengajak kepada kebaikan dan melawan kemungkaran bukanlah radikalisme, memperjuangkan hak rakyat bukanlah radikalisme, melawan kezaliman bukanlah radikalisme, berpegang teguh dengan ajaran agama dan membelanya bukanlah radikalisme; melainkankan semua itu adalah agama dan menjalankannya adalah hak setiap muslim yang bahkan seharusnya dilindungi oleh negara.
Karena itu umat Islam harus bersatu melawan propaganda musuh-musuh Islam yang ingin menjauhkan muslim dari agamanya, menciptakan keraguan terhadap agama, atau membuat-buat berbagai tuduhan palsu kepada umatnya. Mereka ini adalah kelompok yang menderita kekosongan agama, dan kekosongan agama jauh lebih berbahaya dari pada radikalisme agama.. Sebab radikalisme agama masih memiliki aturan dan batasan yang mereka akui, sedangkan kekosongan agama hanya hawa nafsu pemegang kendali mereka.
Umat saat ini dihadapkan kepada dua kutub ini. Satu sisi karena kebodohan dan ketidakpahaman, sedangkan sisi yang lain karena ketidakpercayaan kepada Allah, kepada Rasul dan ajaran agama, dan mereka tenggelam dalam hawa nafsu mereka.
Orang-orang yang menderita kekosongan agama atau iman memiliki akal yang terbentuk sesuai keinginan penjajahan global. Mereka menilai segala sesuatu dengan logika mereka yang rusak. Mereka selalu mencari-cari celah dari sikap dan perbuatan orang-orang beriman yang tidak paham hakikat beragama untuk menyerang agama itu sendiri. Panji yang mereka angkat adalah perang terhadap radikalisme, namun tujuan besar mereka adalah menghapuskan Islam itu sendiri..!!
Tipu daya musuh-musuh Islam dalam menyudutkan agama ini memang membuat kita geram. Hanya saja orang-orang radikal yang bodoh selalu saja membuka berbagai celah bagi musuh Islam untuk menyerang Islam di berbagai bidang. Misalnya pemahaman mereka yang hanya sebatas permukaan terhadap khilafah, terhadap hudud (seperti rajam dan potong tangan), juga terhadap penampilan dan hukum agama sehari-hari, membuat Islam menjadi bulan-bulanan kelompok sekuler dan ateis ini.
Syekh Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya “Al-Haq Al-Mur” atau “Kebenaran yang Pahit” menceritakan dua pengalaman pribadinya ketika membahas persoalan ini.
Beliau bercerita: “Suatu hari salah seorang pemuda menemuiku dengan pandangan marah dan berkata: ‘Saya melihat foto Anda terpampang di sampul beberapa buku Anda!’ Saya katakan: ‘Saya juga melihatnya. Penerbitlah yang memasangnya. Kalau mereka bertanya kepada saya maka saya tidak akan setuju! Tapi ketika saya melihatnya saya tidak mempermasalahkannya, tidak apa-apa!’ Dia pun berkata: ‘Bukannya foto itu haram?’ Saya jawab: ‘Tidak’. Dia berkata: ‘Saya sudah robek buku itu, dan saya mengajak orang-orang menjauhi buku itu dan menjauhi Anda! Saya katakan: ‘Musuh Islam sangat senang dengan orang seperti kalian, mereka tidak butuh selain apa yang Anda lakukan..”
Betapa kisah ini terus berulang dari mereka yang berpamahaman sempit ini. Mereka menyibukkan umat dengan persoalan di mana ulama berbeda pendapat di dalamnya. Bahkan tidak jarang mereka terus mengangkat persoalan yang telah selesai dikaji para ulama dan sudah ada kesimpulan penengahnya. Tidak hanya itu, mereka terus menyerang para ulama, menjatuhkan wibawa mereka, mengajak umat menjauhi dan tidak mendengar ceramah mereka atau membaca karya mereka, hanya karena mereka tidak sepakat dalam beberapa persoalan. Padahal para ulama itu berdiri tegak melawan berbagai syubhat dan fitnah musuh-musuh Islam terhadap Islam dan ajarannya. Tidakkah pekerjaan kaum radikal ini menguntungkan musuh Islam? Tidak perlu Anda menjadi misionaris atau intelijen untuk melayani kepentingan musuh Islam, cukup Anda menjadi bodoh dan puaslah mereka..
Setelah cerita tadi beliau menyebutkan cerita lainnya. Beliau berkata: “Suatu hari seorang teman menemuiku. Dia bercerita telah menerima seorang wanita Kristen untuk bekerja di rumahnya. Hanya saja wanita itu memberi syarat agar ia diizinkan untuk pergi beribadah ke gereja selang beberapa jam pada hari sabtu dan minggu. Ketika mendengar cerita teman saya itu saya tertegun dan termenung lama. Ketika teman saya melihat saya termenung dia berkata: ‘Apa yang kamu pikirkan?’ Saya berkata: ‘Sudah menjadi hak pembantumu untuk pergi beribadah ke tempat ibadahnya. Hanya saja aku menyayangkan kaum wanita kita, hubungan mereka dengan masjid sudah terputus. Baik nyonya atau pembantu tidak ada lagi yang semangat pergi ke masjid. Semua itu karena ulah kaum radikal yang menghembus-hembuskan ke telingan mereka bahwa pergi ke masjid bagi wanita terlarang….”
Kalau Anda pergi ke negara-negara Arab maka sangat jarang Anda temukan wanita shalat di masjid. Bahkan tempat shalat bagi wanita saja tidak disediakan di masjid. Kalaupun ada dan ini hanya di masjid-masjid besar maka tempatnya terpisah dan jauh dari bangunan utama masjid, seringkali kosong kecuali kalau ada yang dalam perjalanan. Lebih parah lagi tidak ada toilet atau tempat berwudu khusus bagi wanita. Akibatnya para wanita jauh dari pengaruh masjid, jauh dari rasa berjamaah, jauh dari ajaran dan pendidikan ulama. Padahal wanita adalah ibu bagi anak-anaknya, tiang keluarga, tiang negara, sebagai pendidik generasi muslim berikutnya. Siapa yang diuntungkan dari semua itu kalau bukan musuh-musuh Islam?[]