Salah satu cara ampuh untuk memutus ‘dinasti politik’ adalah tidak memilih calonnya.
Dalam kasus Gibran, saya sebetulnya kurang sreg mengenakan istilah ‘dinasti politik’. Istilah membeli kucing dalam karung lebih tepat.
Kita perlu kurangi pelan-pelan penggunaan argumen dinasti politik. Itu mudah disanggah. Secara hukum, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015 ‘melegalkan’ itu. Secara persepsi, mudah dibangun argumen bahwa itu merupakan kompetisi, bisa menang bisa kalah, pun tak ada kewajiban memilih Gibran.
Cara Gibran itu sama persis dengan bapaknya dulu. Menempatkan diri seolah sebagai sosok lemah dan terpojok, tapi manuver tak kasat matanya di belakang panggung menunjukkan sebaliknya.
Waspada terhadap mulut manis politisi semacam itu. Penglihatan sekilas berpotensi menipu kenyataan.
Tapi yang terpenting bagi masyarakat adalah memahami situasi dan menilainya secara rasional.
Politik patrimonialistik semacam ini memang terselubung oleh jalur prosedural. Semuanya memang sah secara formal, tapi sesungguhnya formal bukan satu-satunya ukuran menentukan kualitas seorang pemimpin.
Apa kualitas instrinsik dari seorang Gibran? Bagaimana rekam jejaknya dalam kepemimpinan politik/organisasi? Apa pikiran dan gagasan besar dia tentang kehidupan berbangsa dan bernegara? Bagaimana dia merintis jalur kaderisasi organisasi politik? Siapa dia jika andai saja bapaknya tidak menjabat presiden?
Kita tidak ragu mengatakan Gibran adalah sosok politisi instan yang memporakporandakan sistem rekrutmen dan kaderisasi organisasi partai politik. Ini yang tidak bisa dibantah.
Maka alasan untuk tidak memilihnya dan ekstrakritis terhadap segala aksi menarik simpati dan pencitraannya menjelang pilkada cukup beralasan.
Dia cuma menunjukkan karungnya, entah macam apa kucingnya!
(By Agustinus Edy Kristianto)
Salah satu cara ampuh untuk memutus ‘dinasti politik’ adalah tidak memilih calonnya. Dalam kasus Gibran, saya...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Rabu, 29 Juli 2020