KONTROVERSI PARTAI GELORA
Oleh: Hersubeno Arief (Pengamat Politik)
Sekali muncul ke publik, Partai Gelora langsung bikin heboh. Partai besutan Mantan Presiden PKS Anis Matta itu Senin (20/7/2020) bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka.
Tone pemberitaan media sesungguhnya netral. Tidak ada judul yang sensasional. Hampir semua media menurunkan berita yang seragam.
Sebagai partai politik baru, mereka sedang mengenalkan diri kepada Jokowi sebagai seorang Presiden. Kepala negara.
Acara itu merupakan rangkaian safari silaturahmi dengan para pemimpin lembaga negara, tokoh politik dan tokoh masyarakat.
Tapi masalahnya menjadi lain ketika foto para petinggi Gelora, selfie bersama Jokowi.
Foto-foto itu menyebar dengan cepat di medsos dan platform pertemanan. Mereka dibully habis. Komentar-komentarnya dijamin bikin panas telinga.
Banyak yang menganggap Gelora bagian dari rezim. Dibentuk untuk menggembosi PKS. Partai yang kini dinilai menjadi satu-satunya yang konsisten menjadi oposisi.
Mereka juga dianggap berkhianat kepada umat. Ketika umat sedang pasang kuda-kuda, posisi berhadap-hadapan dengan rezim pemerintah karena RUU HIP, mereka malah "merapat."
Sebagian besar petinggi Gelora memang dikenal sebagai mantan petinggi PKS.
Anis Matta bahkan pernah menjadi Presiden PKS. Dia tampil ketika partai itu dilanda huru hara. Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap KPK.
Bersama Anis ada Waketum Fahri Hamzah, Sekjen Mahfudz Sidiq, Bendum Achmad Rilyadi. Semuanya mantan pentolan PKS.
Ada nama-nama lain, figur populer seperti Ketua DPP Bidang Seni Budaya Deddy Mizwar, mantan politisi PPP dan peragawati senior Ratih Sanggarwati.
Selain mereka, ada satu figur yang tampilannya cukup mencolok dan mencuri perhatian. Posisinya persis berdiri di sebelah kanan Anis Matta ketika memberi penjelasan ke media.
Namanya Aubrey Dian Agustin, generasi muda Gelora. Aubrey lulusan master dari Sekolah Bisnis ITB itu tampil tanpa jilbab.
Cukup menarik dan unik. Mantan petinggi partai dakwah, mendirikan partai, tapi kadernya tidak berjilbab. Kalau menggunakan terminologi PKS, tidak syar’i.
Tampilan Aubrey cukup menjelaskan posisioning Gelora, berbeda dengan PKS. Lebih terbuka.
Kemarahan publik
Kemarahan publik —utamanya kelompok keumatan— semakin menyadarkan kita, betapa dalamnya pembelahan yang terjadi di tengah masyarakat.
Pada Pilpres lalu mereka mayoritas berdiri di belakang paslon Prabowo-Sandi (02). Lawan sengit Jokowi-Ma’ruf (01).
Residu Pilpres antara kelompok pendukung paslon 01 vs 02, atau biasa dikenal sebagai cebong vs kampret, masih terus berlanjut hingga kini. Intensitasnya bahkan semakin meningkat.
Salah urus dan kegagalan pemerintah menangani pandemi, memunculkan spesies baru bernama Bongpret. Mereka adalah para pendukung Jokowi yang kecewa. Menjadi pengkritik keras rezim, kendati tidak bergabung dengan kelompok oposisi.
Penjelasan Fahri Hamzah, sebagai partai baru mereka tidak mau terjebak dalam pertarungan dua kubu yang berseteru. Apalagi secara naif harus ikut-ikutan marah ke pemerintah, sesungguhnya sangat wajar. Namun bagi kelompok yang sedang marah ini, tetap tidak bisa diterima.
Apa boleh buat, citra yang melekat pada Fahri selama ini adalah figur yang vokal dan kritis kepada pemerintah.
Begitu juga halnya penjelasan dan ajakan Anis Matta. Dalam situasi pandemi semacam ini harusnya semangat kolaborasi yang harus diutamakan, tidak mempan.
Siapapun yang bertemu dan dianggap mendekat Jokowi, harus dihajar. Diposisikan sebagai lawan yang harus dihabisi. Penjelasan serasional apapun, tidak bisa diterima.
Kondisi masyarakat yang terpuruk dalam perpecahan yang begitu dalam, sesungguhnya menjadi tanggung jawab Jokowi. Baik sebagai seorang Presiden, sekaligus kepala negara.
Dia harus bertindak sebagai Bapak yang mengayomi seluruh elemen anak bangsa.
Seluruh energi Jokowi harusnya dicurahkan untuk mempersatukan seluruh kekuatan. Hanya dengan begitu kita bisa bersama-sama menghadapi dan keluar dari krisis multi dimensional akibat pandemi.
Itulah legasi yang akan dikenang oleh bangsa Indonesia atas kepemimpinan Jokowi.
Sayangnya logika Jokowi semakin menjauh dari logika publik. Bukan mengatasi perpecahan, dia malah sibuk mencoba melanggengkan kekuasaan melalui politik dinasti. Gibran anak tertuanya menjadi calon walikota Solo. Menantunya Bobby Nasution mengincar jabatan sebagai calon walikota Medan.
Jokowi bahkan turun langsung, memastikan Gibran memenangkan pemilihan dengan segala cara. Termasuk tawaran jabatan untuk rival yang disingkirkannya.
Harusnya Jokowi segera siuman dari amnesia politik. Ada realitas yang mengerikan dan harus segera dicegah. Bangsa ini sedang menuju jurang keterpurukan yang sangat dalam.
Jangan biarkan istana, tempat sakral yang menjadi simbol kedaulatan rakyat, menjadi tempat yang harus dihindari. Sehingga siapapun yang bertandang ke sana dicaci maki, dimusuhi. end.
(21/7/2020)