Hagia Sophia dan Kemunafikan Eropa-Kristen
Oleh: MANSYUR ALKATIRI
Setelah menjadi wilayah Muslim selama 370 tahun, kota Toledo (Spanyol sekarang) jatuh ke tangan Kerajaan Castille pada 25 Mei 1085 setelah pengepungan selama satu tahun. Penguasa Muslim lokal, Yahya II al-Qadir, menyerahkan Toledo secara damai pada Raja Alfonso VI dari Castille setelah keduanya mencapai kesepakatan bahwa penguasa Katolik itu akan menjaga keamanan kaum muslimin di sana dan membiarkan masjid-masjid menjadi tempat ibadah kaum muslimin.
Namun kesepakatan itu hanya berjalan dua tahun. Alfonso VI mengingkari janjinya. Dia membiarkan Masjid Agung Toledo, masjid terbesar di kota itu, dirampas oleh kaum Katolik atas perintah Uskup Agung Bernard of Sedirac. Masjid itu pun dijadikan katedral. Dan setahap demi setahap bangunan asli masjid itu diubah menjadi katedral bergaya arsitektur Gothic (Justin E.A. Kroesen, From Mosques to Cathedrals: Converting Sacred Space During the Spanish Reconquest, dalam Mediaevistik, vol. 21, Thn. 2008).
Ketika raja-raja Katolik di wilayah yang sekarang bernama Spanyol dan Portugal mengambil alih kembali wilayah itu dari tangan pemerintahan Muslim asal Afrika Utara dan Arab, mereka membantai, memaksa pindah agama, dan mengusir jutaan Muslim dari Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal sekarang). Mereka juga menghancurkan dan mengubah ribuan masjid menjadi gereja dan tempat lain.
Aksi keji ini dilakukan mulai abad ke-11 dan mencapai puncaknya dengan jatuhnya Granada pada abad ke-15. Masjid Agung Cordoba yang dibangun di abad ke-8 dan saat itu merupakan masjid kedua terbesar di dunia setelah Masjidil Al-Haram di Mekkah diubah menjadi katedral pada 1236 setelah Raja Ferdinand III dari Castile menguasai kota seribu masjid itu, tempat kelahiran banyak ilmuwan besar Muslim.
Masjid Agung Bab-al-Mardum, di Toledo (999 M) diubah menjadi Gereja Cristo de la Luz setelah kota itu jatuh ke tangan penguasa Katolik pada 1186. Masjid Agung Sevilla, yang diresmikan pada 1176 dengan ukuran luas setara dengan Masjid Agung Cordoba, dikonversi menjadi gereja dan merupakan katedral katolik terbesar di dunia sejak 1248.
Begitu pula masjid besar di kota Almonaster la Real di provinsi Huelva, di kota Jerez di provinsi Cadiz, Masjid Al-Mustimim di Toledo, Masjid Tortoles di Tarazona (Aragon), Masjid Medina Az-Zahra di Cordoba (940 M) yang dijadikan gereja pada 1010 M, Masjid Al-Dabbagin (San Sebastian) di Toledo dijadikan gereja pada 1085, tapi sekarang dijadikan gedung pameran dan konser. Ribuan lagi masjid besar dan kecil di Cordoba, Toledo, Ronda, Sevilla, Macharaviaya, Zaragoza, Madrid, Granada, Guadix, Valencia, Lleida, Alfacar, Tarifa dan kota-kota lainnya dijadikan gereja atau diratakan dengan tanah.
Nasib yang sama juga menimpa seluruh masjid di wilayah yang sekarang berdiri negara Potugal, seperti Masjid Jami’ Martulah yang diubah menjadi Gereja Nosaa Senhora da Anunciacao di kota Mertola pada abad ke-12, masjid di kota Loule menjadi Gereja Sao Clemente, Masjid Tavira diubah menjadi Gereja Santa Maria do Castelo di Tavira, Masjid Serpa menjadi Gereja Santa Maria di Serpa, dan ratusan masjid lainnya.
Ketika kekuasaan Kristen Ortodoks Rusia di bawah kuasa Tsar menginvasi dan mencaplok wilayah-wilayah kaum Muslim Tatar di wilayah Krimea dan Volga-Ural, dan Muslim di kawasan Pegunungan Kaukasus Utara dan Selatan antara abad ke 18-19 M, mereka juga membantai dan mengusir paksa jutaan warga Muslim di sana. Ethnic cleansing itu mencapai puncaknya menyusul kemenangan Rusia dalam perangnya melawan Turki di tahun 1877–1878. Negara Ottoman Turki menjadi tempat pengungsian mereka. Ribuan masjid pun di wilayah itu lalu diubah menjadi gereja dan tempat-tempat lainnya, bahkan menjadi kandang-kandang babi.
Hal yang sama juga terjadi di Bulgaria, Yunani, Serbia, Montenegro, Armenia, Kreta, dan Georgia. Setelah kedua wilayah tersebut lepas dari kekuasaan Turki Ottoman di abad ke-19, mayoritas penduduk Muslimnya diusir dan dibantai. Ratusan masjid di sana diubah menjadi gereja Ortodoks dan tempat-tempat lainnya, seperti kandang hewan, bar, dan museum. Banyak lainnya dihancurkan tak tersisa untuk menghapus jejak Islam dari wilayah itu.
Justin McCarthy, seorang profesor sejarah dari University of Louisville (AS) menulis dengan detil tragedi Muslim di Rusia dan negara-negara Balkan itu dalam bukunya yang berjudul Death and Exile, The Ethnic Cleansing of Ottoman Muslims, 1821-1922 (terbit 1995). Menurutnya, tak kurang 5 juta Muslim tewas akibat pembantaian di wilayah asli mereka yang dicaplok Rusia, juga di Bulgaria, Yunani, Serbia, Armenia dan Georgia, dan tidak kurang 5 juta lainnya diusir dan mengungsi ke wilayah Ottoman.
Anehnya, saat ini tak ada yang mengungkit-ungkit tragedi besar kemanusiaan terhadap Muslim itu. Tak ada protes terhadap masjid-masjid yang dikonversi menjadi gereja sampai saat ini. Negara-negara Barat dan negara-negara Kristen Balkan diam seribu bahasa.
Namun sebaliknya, manakala Dewan Negara, pengadilan administratif tertinggi Turki, dengan suara bulat membatalkan keputusan pemerintah sekuler Turki pimpinan Kemal Ataturk pada 1934 yang mengubah Hagia Sophia di Istanbul menjadi museum, dan konsekwensinya Hagia Sophia akan kembali menjadi masjid, para pemimpin pemerintah dan agama Kristen di negara-negara Eropa dan Amerika geger. Mereka memprotes keputusan sah peradilan Turki dan otomatis mencampuri urusan dalam negeri Turki. Hagia Sophia ada di Istanbul, dan Istanbul itu ibu kota Republik Turki.
Sikap hipokrit negara-negara itu makin terkuak kalau kita lihat sejarah bahwa Pasukan Salib yang Katolik, yang didorong dan didukung penuh oleh Vatikan, ternyata juga pernah menyerbu dan menduduki Hagia Sophia di tahun 1204. Saat itu Hagia Sophia merupakan gereja terbesar kaum Kristen Ortodoks di wilayah bernama Konstantinopel, ibukota Kerajaan Bizantium Timur. Tentara Katolik Roma menjarah banyak barang berharga Hagia Sophia, lalu mengubahnya menjadi katedral Katolik Roma. Enrico Dandolo, penguasa Republik Venesia (Italia timur laut), yang menjadi komandan invasi pasukan Katolik ke kota itu bahkan dikuburkan di dalam gereja tersebut.
Baru pada 1261 kota tersebut kembali berhasil dikuasai oleh Bizantium pimpinan Michael VIII Palaiologos.
Maka menjadi aneh bila sekarang Rusia, Yunani, Eropa dan negara-negara Katolik dan Ortodoks lainnya memasalahkan pengubahan status Hagia Sophia menjadi masjid kembali mengingat negara-negara itu di masa lalu punya sejarah sangat kelam dengan mengubah ribuan bangunan masjid besar dan kecil menjadi gereja.[MA]