Anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, hampir pasti akan menjadi calong tunggal untuk pemilihan Walikota Solo. Ini terjadi setelah Achmad Purnomo, yang sekarang menjadi Wakil Walikota Solo, mengundurkan diri. Mundurnya Purnomo ini terjadi setelah dia bertemu dengan Jokowi. Pengunduran diri ini sekaligus mengakhiri kisruh di dalam tubuh PDIP, partai terbesar dan berkuasa di Solo.
Di PDIP lokal, Purnomo adalah orang yang memang ada pada giliran untuk memegang jabatan walikota. Dia sejak awal meniti karir dalam tubuh partai. Dia kader akar rumput yang tumbuh, berkembang, dan berkarya untuk partai. Jika meritokrasi partai dijalankan dengan benar, dialah yang seharusnya menjadi kandidat.
Namun semuanya bubar karena anak presiden–yang sebelumnya hanya tertarik berjualan martabak–tiba-tiba mencalonkan diri. Jelas, seperti diakui Purnomo sendiri, dia tidak kuasa melawan anak presiden. Dia mengaku ditawari jabatan di pemerintahan pusat. Namun, Purnomo menampik. Dia memilih kembali ke Solo dan menjadi pengusaha.
Partai-partai besar merapat mendukung pencalonan Gibran. Besar kemungkinan dia akan menjadi calon tunggal. Nah, jika tidak ada calon lain maka siapakah yang akan menjadi lawan Gibran di dalam pemilihan?
Tidak ada bukan? Salah besar. Lawan Gibran nantinya adalah sesuatu yang bernama kotak kosong. Nah, justru disinilah persoalannya. Kotak kosong itu selalu ‘unpredictable‘ alias sulit diperkirakan. Melawan kotak kosong itu seperti melawan musuh yang tidak kelihatan.
Ada contoh yang sangat bagus dari kotak kosong ini.
Pada tahun 2018, kota Makassar mengadakan pemilihan walikota. Yang maju waktu adalah calon tunggal yang bernama Munafri Arifuddin. Dia berpasangan dengan Rachmatika Dewi.
Munafri Arifuddin bukan orang sembarangan di Sulawesi Selatan. Dia adalah menantu dari Aksa Mahmud, bos dan pendiri Bosowa Corporation. Mungkin Anda pelu tahu bahwa Aksa Mahmud adalah salah seorang terkaya di Indonesia. Tidak itu saja. Dia adalah adik ipar Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia waktu itu. Dengan demikian, Munafri Arifuddin adalah kemenakan Jusuf Kalla.
Dengan kredensial yang demikian hebat, jelas tidak ada orang berani menantang Munafri. Dia didukung oleh delapan partai politik. Hanya Partai Demokrat yang tidak menyatakan dukungannya.
Demokrat mendukung walikota yang saat itu berkuasa Mohammad Ramdhan Pomanto yang ingin terpilih kembali. Karena Pomanto kekurangan dukungan dari partai politik, dia maju sebagai calon independen. Syarat maju sebagai calon independen adalah mendapatkan dukungan yang ditunjukkan dengan 65.000 fotokopi KTP. Pomanto berhasil mengumpulkan 117.492 fotokopi KTP. Namun pencalonan Pomanto bisa digagalkan lewat proses hukum. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Munafri Arifuddin atas tindakan Pomanto yang menggunakan kekuasaannya untuk kampanye. Munafri Arifuddin yang adalah juga CEO PSM Makassar akhirnya ditetapkan sebagai calon tunggal. Lawannya adalah, ya itu tadi, kotak kosong.
Dalam pemilihan yang dilakukan bulan Juli 2018, Munafri Arifuddin hanya mendapat 46,68% dari suara. Sementara, kotak kosong mendapat 53,32%. Munafri Arifuddin kalah mengenaskan. Dari penghitungan suara, dia hanya menang di dua dari lima belas kecamatan.
Sekalipun didukung oleh semua kekuatan partai dan elit di Makassar dan Sulawesi Selatan, Munafri Arifuddin toh kalah melawan kotak kosong. Di Makassar dan Sulawesi Selatan, dinasti politik, khususnya dari keluarga Kalla dan Limpo, sangat berakar. Namun itu tidak menjamin jalan Munafri Arifuddin ke tampuk kursi walikota.
Itulah yang saya katakan bahwa melawan kotak kosong itu selalu ‘unpredictable.’ Kejadian seperti ini bukan hal yang baru. Ini kerap terjadi di Jawa, terutama dalam pemilihan lurah.
Mengapa para pemilih melakukan ini? Kemungkinan pertama adalah orang memilih kotak kosong sebagai ‘protest vote.’ Mereka tidak nyaman melihat proses politik yang tidak partisipatif. Biasanya ‘protest vote’ muncul karena dorongan aktivis-aktivis politik dan pengorganisasi masyarakat (community organizers).
Contoh paling jelas dari protest vote adalah Golput yang sering muncul dalam pemilihan umum di Indonesia. Keberadaan protest vote ini lebih mudah untuk diendus karena para aktivis pasti akan berkampanye untuk kotak kosong.
Namun, kemenangan kotak kosong ini bisa juga terjadi karena sebab lain, yang lebih alamiah dan bobot ketidakterdugaannya (unpredictability) lebih susah untuk dideteksi. Calon tunggal membuat orang menjadi apatis. Buat apa memilih kalau hasilnya sudah pasti?
Orang memilih kotak kosong karena merasa suaranya tidak ada artinya. Karena itu, ketika berada dalam bilik suara, biasa orang memakai logika ini: “Calon tunggal ini pasti menang karena semua orang akan pilih dia. Saya pilih kotak kosong saja karena calonnya toh sudah pasti menang. Suara saya tidak akan mempengaruhi hasil pemilu.” Sialnya, mayoritas orang berpikir yang sama.
Calon tunggal juga membuat orang kehilangan selera terhadap pemilihan. Orang tidak akan bergairah untuk berpartisipasi karena sudah jauh-jauh hari sudah tahu siapa yang menang. Ini juga sering terjadi jika kandidat yang kuat menghadapi calon lemah yang dianggap hanya sebagai pelengkap penderita dalam pemilihan.
Biasanya jumlah pemilih (voter turnout) juga akan turun drastis bila orang tidak bergairah. Dalam kasus Pilwakot Makassar 2018, partisipasi pemilih hanya 57,2%. Termasuk rendah untuk ukuran Indonesia yang biasanya punya partisipasi pemilih diatas 75%. Jika dipaksa memilih pun ada kemungkinan pemilih akan malah memilih kandidat yang super lemah itu. Kadang itu sekedar dilakukan untuk menunjukkan bahwa kandidat super kuat itu ada juga yang menentang.
Kita menyaksikan ini pada zaman Orde Baru. Sekalipun partai pendukung Soeharto menang besar dalam setiap pemilihan umum di beberapa kota besar suara untuk partai oposisi biasanya sangat besar. Di Jakarta, beberapa kali partai pemenangnya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Namun, ada juga persoalan lain khususnya yang sering terjadi dalam pemilihan lurah di tanah Jawa. Banyak calon tunggal kepala desa yang kalah melawan kotak kosong. Mengapa ini terjadi? Karena pemilihan menjadi ajang pertaruhan atau perjudian. Para penjudi membayar pemilih untuk memilih kotak kosong. Kadang para pemilih sendiri ikut bertaruh.
Persoalan terakhir ini menyebar dimana-mana. Namun ini hanya bisa dilakukan dalam skala jumlah pemilih yang kecil seperti pemilihan tingkat desa. Agak lebih sulit untuk membuat perjudian –terutama untuk menyogok pemilih– jika pemilih dalam jumlah ratusan ribu atau jutaan seperti dalam pemilihan di tingkat kota. Walaupun juga bukan tidak mungkin.
Orang mungkin tidak tertarik pada pemilihan karena hasilnya sudah pasti. Namun banyak orang bergairah untuk berjudi dan berharap kotak kosong akan menang. Seperti dalam ‘apathy voting’ diatas, jika pasar taruhan untuk kotak kosong membesar maka ada kemungkinan calon tunggal itu kalah.
Jangan diabaikan pula kondisi psikologis yang dibentuk oleh kelas sosial. Banyak pemilih jelata secara diam-diam lebih suka melihat calon yang didukung semua kekuatan-kekuatan para elit itu terjungkal. Ini adalah salah satu bentuk resistensi mereka yang seringkali tidak diperlihatkan di depan umum dan tidak dikampanyekan. Para elit biasanya buta akan resistensi sehari-hari (everyday resistance) seperti ini.
Kaum jelata selalu tampak setuju. Mereka ‘inggih-inggih’ terhadap apa saja yang ditawarkan oleh elit. Mereka menerima bantuan-bantuan beras atau sembako dari politisi dan tidak melawan ketika difoto. Elit-elit politik ini biasanya berasumsi bahwa mereka sudah berhasil mendapatkan (baca: membeli) suara dari kaum jelata ini. Pandangan ini seringkali salah. Rakyat menyembunyikan perasaan tidak puasnya. Inilah yang oleh James C. Scott disebut sebagai hidden transcript.
Apa pelajaran dari calon tunggal versus kotak kosong ini? Saya kira ada dua hal. Pertama, jangan remehkan kekuatan rakyat jelata. Saya menulis artikel ini ketika di Amerika Serikat sedang berduka karena kematian seorang tokoh gerakan hak-hak sipil, John Lewis. Perjuangan hak-hak sipil di Amerika merubah lanskap politik di negara itu. Orang-orang kulit hitam diperbolehkan berpartsipasi dalam pemilihan umum. Di negara-negara bagian di selatan, pusat perbudakan Amerika, muncul ujaran, “tangan-tangan yang dulu memetik kapas, kini memilih presiden!”
Di Solo pun tidak mustahil akan muncul ujaran yang sama. Tangan-tangan yang biasanya mengemudi becak atau menyetir ojek, kini mampu menentukan siapa yang menjadi walikota.
Kedua, orang akan lebih bergairah untuk berpartisipasi dalam proses politik yang memperlihatkan pertarungan. Dalam demokrasi, kekuasaan itu harus direbut dengan susah payah. Bukan dengan jalan mudah karena koneksi atau karena hubungan keturunan. Selain itu, politik adalah soal persuasi bukan soal mobilisasi. Anda bisa menang dengan cara mobilisasi namun tidak berarti orang bisa dengan mudah diyakinkan (persuaded). Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 adalah soal mobilisasi. Hasilnya, kita bisa lihat bahwa sebagian orang tidak bisa dipersuasi untuk melihat sisi-sisi baik dan mengakui ada keberhasilan pihak yang berkuasa.
Seorang kandidat tunggal yang lahir lewat kongkalikong para elit tentu menganggap dirinya bisa menafikan persuasi. Mungkin ia kira mobilisasi massa saja sudah cukup menghantarnya ke tampuk kekuasaan.
Jika Anda merasa bahwa kotak kosong, dukungan elit, dan mobilisasi aparat-aparat partai akan mampu membuat menang pemilu, saran saya, berhati-hatilah! Sekali lagi, jangan remehkan suara para jelata!
Oleh: Made Supriatna
(Sumber: indoprogress)