Sikap saya sebagai orang yang kontra Jokowi hingga kini tak berubah walau sejengkal. Tapi saya bukan orang buta yang lantas menutup mata terhadap segala realitas yang terjadi.
Saya tetap berkeyakinan bahwa terpilihnya Jokowi sebagai presiden Indonesia, itu adalah satu di antara musibah terbesar yang menimpa bangsa ini.
Bagaimana mungkin, dari dua ratus juta lebih orang Indonesia, kita bisa mendapatkan presiden yang under capacity seperti itu.
Terlebih saya juga meyakini bahwa terpilihnya Jokowi disertai dengan banyak kecurangan, yang saya terlibat langsung melakukan penentangan itu melalui berbagai aksi.
Tapi kenyataannya toh Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sudah dilantik. Berbagai upaya konstitusional telah kita tempuh, yang berakhir di Mahkamah Konstitusi, diteruskan penetapan oleh KPU dan kemudian pelantikan oleh MPR.
Sampai di sini paham, Ferguso?
Berikutnya mari kita bicara tentang kunjungan Anis Matta, Fahri Hamzah dan beberapa elit Partai Gelora kepada Jokowi di Istana. Ada banyak mention ke saya terkait hal tersebut.
Entah saya ini dianggap orang dekatnya Jokowi atau orang dekatnya Anis Matta. Atau dua-duanya. 😃
Satu sisi saya memang adalah penyokong Anis Matta, tapi sisi lain saya juga adalah pembangkang Jokowi. Dua sisi yang saling berhadapan itu sekarang bersepadu pada saya setelah viralnya foto bersama Anis-Jokowi di Istana.
Saya tidak anti istana. Saya tidak anti presiden. Tapi saya kontra Jokowi. Maka, saat berkesempatan diskusi dengan Ustadz Abdul Shomad ketika di Malang beberapa waktu yang lalu, saya bertanya padanya, “Kenapa Antum tidak memenuhi undangan Jokowi?”.
Karena hemat saya, mendatangi penguasa itu tidak selamanya buruk. Tinggal dalam rangka apa dia datang. Musa dan Harun pun mendatangi Fir'aun. Rasulullah saw dan Khulafa` Rasyidin mengirim banyak utusan kepada para penguasa ketika itu.
Apakah Sampean kira Jokowi itu lebih bengis dari Fir'aun?
“Alaisa afdhalul jihad kalimata haqqin inda sultonin ja`ir?” (bukankah jihad yang utama adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim?) lanjut saya pada UAS. Tapi UAS beragumen bahwa beliau lebih memilih menjauhi dakwah kepada penguasa, tersebab keyakinan bahwa hal tersebut adalah percuma. “Yang terjadi nanti bukan Presiden yang ikut ajakan saya, malah saya yang diajaknya,” begitu kurang lebih jawaban UAS kepada saya.
Beda UAS, beda Fahri Hamzah. UAS memilih menghindari mendatangi Istana, karena sebagai da'i beliau merasa tidak memiliki kekuatan untuk mengajak atau meluruskan penyimpangan Jokowi.
Tapi Fahri Hamzah sebagai politisi, yang banyak tahu kelemahan dan kesalahan Jokowi, merasa berkewajiban meluruskan Jokowi. Itulah yang dilakukannya dalam berbagai kesempatan, baik melalui forum-forum publik ataupun saat bertemu langsung dengan Jokowi.
Perkara Jokowi menerima atau tidak, itu adalah hal lain. “Wama alaina illal balagh!” (Tidak ada kewajiban kita kecuali hanya menyampaikan).
Fahri kini tak sendiri lagi. Orang Sumbawa itu sudah punya partai: Partai Gelora Indonesia. Bersama teman-temannya yang dipecat PKS atau keluar dari PKS, ia kini merajut kekuatan untuk melakukan kerja politik cerdas.
Selain itu Fahri Hamzah dan Anis Matta juga mengajak elemen Bangsa yang lain untuk bergabung bersama Gelora mewujudkan cita-cita Indonesia yang berkeadilan, sejahtera dan digdaya di hadapan bangsa-bangsa lain.
Nah, bersama gerbong Gelora inilah Anis-Fahri bertemu Jokowi di istana. Secara normatif, mereka menyampaikan bahwa itu adalah ta'aruf politik. Sebagai partai politik baru, Gelora berkewajiban memperkenalkan diri.
Sebagaimana ikhwan-akhwat di PKS, setelah ta'aruf dilakukan, kalau dirasa saling cocok, bisa berlanjut kepada lamaran. 😂
Tapi kalau tidak cocok dan ternyata memang tidak ada titik temu untuk bekerjasama dalam kebaikan, akhirnya mari kita saling bersaing. Saling berlomba untuk memperebutkan kekuasaan. Karena memang untuk itulah partai politik didirikan.
Malang, 22 Juli 2020
Jokowi Presiden Indonesia Sikap saya sebagai orang yang kontra Jokowi hingga kini tak berubah walau sejengkal. Tapi...
Dikirim oleh Abrar Rusdi Rifai pada Selasa, 21 Juli 2020