RISMA DAN KHOFIFAH
Pantesan dalam Islam, dianjurkan pemimpin itu adalah seorang Lelaki. Kalau perempuan, mungkin beginilah penampakannya.
Jatim ada 2 pemimpin perempuan yang fenomenal. 1 sebagai gubernur, satunya sebagai walikota di ibukota provinsi. Sama-sama tinggal di satu kota, namun wewenang mereka berbeda.
Risma ini apes. Apes karena melonjaknya pasien di Surabaya, nama dia yang disorot. Padahal, gak semuanya salah dia. Bagaimanapun, ada peran gubernur yang juga patut dipertanyakan.
Misalnya ini terjadi di DKI, pastinya yang jadi sorotan bukan wilayah Jakarta selatan atau yang lain dan walikotanya. Melainkan gubernurnya yang jadi pertanyaan.
Tapi untuk Surabaya, spesial nama Risma yang disorot. Ini semua karena resiko popularitas namanya yang kemarin-kemarin dilambungkan oleh para pendukungnya. Sosok Risma malah bisa mengalahkan kharisma seorang Khofifah gubernur Jatim itu sendiri.
Surabaya jadi kota yang paling bahaya se-Indonesia akan corona. Prediksinya malah bisa jadi wuhan ke-2. Bayangin gimana paniknya Risma.
Dari sanjungan berubah menjadi hujatan atas terus bertambahnya pasien di Surabaya. From Hero to Zero. Dan Risma tetaplah seorang wanita, karakternya yang suka mencak-mencak ini sering kita lihat. Dijalanan dia bisa menjadi polantas sambil memasang muka serem. Di taman kota, dirinya bisa berkacak pinggang melihat tanaman yang hancur karena sebuah acara.
Inilah salah satu karakter wanita Indonesia yang dulu pernah booming di sinetron tempo dulu. Seperti Ibu Subangun.
.
Surabaya jadi sorotan semua pihak, apapun beritanya tentang corona, maka surabaya akan selalu dijadikan tatapan. Sadar bahwa kotanya jadi perbandingan, Risma gak bisa menutupi kegundahannya.
Emak2 kalau lagi galau dan kesal, persoalan sandal gak ketemu sebelahnya aja bisa panjang urusan. Bisa jadi masalah baru dan ikut dibawa ke masalah utama.
"Sandal emak kemana satu lagi ini? Ada aja yang nambahin masalah. Kalau dah ginikan jadi semuanya kayak musuhin emak. Bukannya bantuin, malah nyusahin aja...!!"
Ketika kita jawab, tambah runyam urusan sandal itu.
Bu Risma marah karena mobil PCR yang berisi peralatan untuk pengetesan corona dibawa ke Tulung Agung oleh Gugus Tugas Jatim. Persoalan gini aja, sampe buat Bu Risma harus mengumbar kemarahan dihadapan wartawan.
Pola begini adalah ingin menunjukkan kepada publik bahwa dirinya bekerja dan selalu saja ada kendala seperti ini. Dia perlihatkan kemarahan untuk menampakkan kepanikan. Padahal, melonjaknya daftar pasien corona bukan semata karena ketiadaan mobil itu saja. Keberadaan mobil itu hanya berperan sekian persen dari permasalahan utama.
Namun bagi Risma, dijadikan itulah alasan utamanya dan diperlihatkan pada semua orang. Harapannya, publik akan menilainya berbeda..
"Oooo, gara2 ini toh surabaya jadi zona merah nasional. Ya gak bener ini, Bu Rismanya mau kerja tapi alatnya kok gak ada.."
Permasalahan ini hanya soal komunikasi yang buruk antar pemimpin daerah dan provinsi. Sadar kekurangan fasilitas, seharusnya ini yang diminta lebih awal ke gugus tugas nasional. Peranan Gubernur bagaimana? Saat daerah minim peralatan, upaya dia bagaimana untuk mengadakan?
Permasalahan di Jatim memperlihatkan betapa komunikasi antara pemimpin daerahnya sangat buruk. Mempublikasikan kemarahan dihadapan umum adalah cara-cara murahan agar terlihat kerja dengan membuat drama.
Jika komunikasi baik, pastinya gak akan seperti ini. Pastinya ada sinergi dan saling menguatkan antara daerah satu dan yang lainnya. Karena antara daerah ini saling berhubungan dan seharusnya satu komando dalam kebijakan. Pasien corona di Surabaya, bisa saja mendapatkan virus dari daerah lain, demikian juga sebaliknya.
Khofifah sebagai gubernur jelas gagal menjalankan peran leadernya. Merahnya Jawa Timur adalah tanggung jawab dia, bukan tanggung jawab Risma seorang.
Mungkin beginilah jika 2 perempuan harus berhadapan dan saling ingin terlihat kerja. Masing-masing ingin menonjolkan diri, jika berhasil bagus. Tapi jika gak berhasil, yang ada saling sikut-sikutan. Kalau ketemu, bisa jambak2an 😅
(By Setiawan Budi)