Partai Gelora Sekuler?
Masih ada beberapa penggal cerita yang belum tuntas dalam silaturahim saya kepada Anis Matta di Patra beberapa waktu yang lalu. Sengaja saya endapkan, karena Pak Anis sendiri membiarkannya cair, menjadi satu dinamika keindahan di antara para fungsionaris serta kader Partai Gelora.
Satu di antara cerita tersebut adalah terkait kelamin Partai Gelora. Partai ini partai apa? Islam, Nasionalis atau bahkan sekuler?
Saya memang tidak menanyakannya secara khusus. Karena pertanyaan terkait azas dan jati diri suatu partai politik, seharusnya hanya ditanyakan oleh seorang buta dan tuli yang tak bisa melihat dan tak bisa mendengar.
Orang buta, untuk mengetahui sekelilingnya biru, merah atau hijau, ia harus bertanya. Apa di depannya hamparan danau ataukah lauatan luas. Sebagaimana orang tuli pun harus bertanya, apa itu deru mobil atau letusan petasan. Apa itu suara orang bernyanyi atau desahan orang sedang bercinta.
Tapi saya melek. Sebagaimana sebagian besar kita juga melek. Pun, kita semua adalah orang-orang yang masih dikurniai Allah telinga yang normal. Tinggal kita sudi atau tidak memakai penglihatan dan pendengaran sesuai dengan fungsinya.
Ataukah di tengah konflik politik yang mendera akhirnya kita menutup mata dan menutup telinga, tersebab fanatik buta terhadap kelompok tertentu. Ataukah dogma jamaah yang penuh kemistisan itu telah mencerabut akal kita dari akarnya?
Partai Gelora secara jelas menulis azasnya adalah PANCASILA! Sebagai partai yang disebut sebagai kumpulan para alumni PKS yang selama ini menjadi otak PKS, kenapa Gelora tidak membuat azas Islam saja?
Hari gene membenturkan Islam dan Pancasila adalah serupa kau bertikai tentang penyebutan wanita atau perempuan. Lelaki atau pria. Menikah atau kawin?
Hanya orang-orang yang gagap sejarah, gagal ber-Islam dan bahkan tidak tahu tentang Indonesia yang masih berkutat pada perdebatan tidak penting terkait dengan keabsahan Pancasila sebagai dasar Negara dan azas suatu partai politik.
Lebih bodoh lagi kalau lantas mengartikan Azas PANCASILA sama dengan SEKULER!
Keengganan seseorang untuk ikut bertakbir pada satu moment tertentu, jangan lantas diartikan bahwa partai yang didirikannya adalah partai sekuler.
Pada selebrasi penerimaan SK Pengesahan Kemenkumham, elit Partai Gelora memang berkumpul. Tampak di video, Ketua Umum Anis Matta membuka amplop yang berisi SK tersebut. Nah, pada kesempatan tersebut beberapa orang di antara mereka ada yang berteriak takbir, sementara sebagian lainnya berteriak merdeka.
Lantas di mana masalahnya?
Hanya orang yang dadanya dipenuhi kebencian, yang akan membuat kesimpulan bahwa kejadian tersebut adalah definisi sekuler. Atau seakan bahwa Partai Gelora telah meninggalkan politik Islam.
Sama dengan saat saya usai membacakan puisi untuk Anis Matta, Pak Anis bertakbir. Tapi saya tidak membalas takbir beliau dengan Allahu Akbar. Saya justru menyambut takbir Pak Anis dengan senyum mengembang. Senang karena melihat beliau begitu semangat.
Apakah karena saya tidak mau menjawab takbir Pak Anis lantas saya adalah sekuler? Koplak!
Untuk lebih jelasnya secara legal formal, azas, jati diri dan AD/ART Partai Gelora, sila merujuk pada bada hukum yang telah disahkan Kemnekumham. Untuk melihat kenyataan sikap dan karakternya, sila menilai dari para tokoh dan penggeraknya. Silakan pelototi itu Anis Matta, Fahri Hamzah, Deddy Mizwar, Mahfudz Sidiq, Ratih Sang dan lain-lain.
Adakah di antara nama-nama yang tersebut di atas penganut paham sekulerisme? Ataukah mereka ini mempunyai rekam jejak anti terhadap Islam? Jujurlah menjawab dua tanya tersebut, sebab keingkaranmu tidak akan pernah bisa memindah gunung Krakatau ke daratan. Kebohonganmu pun tak akan bisa memindah Semeru ke Selat Sunda.
Kelamin Partai Gelora secara 'akte kelahiran' telah jelas tersebut dalam dokumen yang sudah disahkan Kemenkumham. Walau untuk sosialisasi ke publik, bagaimana mengenalkan partai ini kepada masyarakat, Pak Anis tidak secara khusus memberikan arahan mutlak kepada kadernya.
Pak Anis sadar, bahwa publik akan lebih melihat orang daripada nama. Publik lebih peka terhadap aksi dan kontribusi daripada identitas. Maka yang didorong Pak Anis adalah agar semua kader Partai Gelora hadir di tengah masyarakat, memenuhi harapan mereka, tanpa perlu menjelaskan jati diri Gelora. Bahkan tanpa perlu mengaku sebagai kader Partai Gelora. Terlebih memang partai ini belum menjadi peserta Pemilu. Belum memiliki wakil di Parlemen.
Kecenderungan yang berkembang di tengah fungsinaris dan kader Partai Gelora, sebagian besar ingin menyebut partainya sebagai partai nasionalis religius. Tapi kesaksian saya, Anis Matta sendiri menyebut Partai Gelora adalah partai Islam Nasional!
Apa bedanya?
Dengan menyebut nasionalis religius, seakan kita menghindari kata Islam. "Itu artinya kita meng-iyakan kesimpulan sebagaian orang yang menyebut bahwa Islam tidak kompatibel dengan Indonesia. Atau Indonesia dan Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipadukan," kata Pak Anis.
Lebih jauh lagi Pak Anis menjelaskan, kita ingin menegaskan kepada khalayak bahwa Islam itu adalah Indonesia. Indonesia ini adalah Islam. Tentu dengan kearifan yang telah menjadi kesepakatan para pendiri Bangsa. Pancasila itu adalah pengejawantahan Islam Nasional.
Tugas Partai Gelora adalah mewujudkan Islam Nasional yang sebenarnya dalam tataran Negara, yang tidak menyalahi kearifan Nusantara, tapi juga tidak menyalahi Islam sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa ini.
Saya terkesima menyimak penuturan Pak Anis pada penggal ini. Masih ada beberapa penggal cerita yang orang ramai perlu tahu. Kita lanjut nanti, yaa.
Sabtu, 27 Juni 2020
By Gus Abrar Rifai
(Ketua PA 212 Malang)