[PORTAL-ISLAM.ID] Akademisi yang juga Pengamat Politik, Rocky Gerung, mengatakan yang mengganggu jalannya demokrasi di Indonesia akibat kekacauan Mahkamah Konstitusi (MK).
Selama ini, kata Rocky, masyarakat kerap bertengkar mana yang menjadi problem, apakah kekacauan sistem parlementerian yang diimplan ke dalam sistem presidensial atau sebaliknya. Namun, menurut Rocky permasalahan tidak ada di sistem tersebut, melainkan ada di cara berpikir Mahkamah Konstitusi.
"Bagi saya problemnya tidak di dalam sistem presidensial atau parlementerian yang sudah jelas diuji dalam sejarah bernegara, yang kacau itu adalah sistem MK sendiri yang kacau," kata Rocky dalam Seminar Daring, bertema 'Ambang Batas Pilpres dan Ancaman Demokrasi' yang digelar Jumat sore, 5 Juni 2020.
Rocky mengatakan, UU Pemilu 7/2017 yang digugat oleh beberapa elemen masyarakat, termasuk dirinya pada 2018 lalu mengindikasikan MK seperti dikooptasi oleh kekuatan besar.
Sehingga, acap kali keputusan yang dihasilkan bersifat politis. Terutama soal Presidential Threshold (PT) sebesar 20% dalam UU Pemilu.
"MK itu otaknya di Istana diatur di sana, kakinya dirantai di Senayan atau DPR, cuma tangannya aja dia itu yang bebas, bebas transaksi dan lain-lain," kata Rocky Gerung.
Menurut ahli filsafat UI itu, ambang batas di dalam sistem presidensial tidak diperlukan sama sekali. Sebab, adanya ambang batas presiden yang mencapa 20 persen justru membatasi partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi.
"Gak boleh ada threshold dalam sistem presidensial. Ikut kami mengujikan UU Pemilu soal threshold. Ini adalah gerakan yang mengharuskan karena ada masalah demokrasi yang terjadi sekarang ini," demikian Rocky Gerung.
Rocky Gerung Akan Kembali Gugat Presidential Treshold
Rocky Gerung dan pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar bersepakat akan kembali mengajukan gugatan presidential treshold (PT) pada UU 7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Hal mendasar yang melatari gugatan mereka ke MK yakni adanya presidential treshold yang dinilai membatasi ruang-ruang demokrasi, dalam hal ini syarat pencalonan presiden.
"Kita akan uji materi lagi ke MK," ujar Zainal Arifin Mochtar saat mengisi diskusi bertajuk "Ambang Batas Pilpres dan Ancaman Demokrasi", Jumat (5/6).
Menurut Zainal Arifin Mochtar, keputusan MK yang menolak gugatan beberapa pihak pada 2018 lalu itu bukanlah keputusan hukum. Melainkan keputusan politik, sebab tidak ada logika hukum dari putusan MK kala itu.
Sumber: RMOL