Berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara PTUN Jakarta, pemerintah dituntut menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia, serta meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia khususnya Papua dan Papua Barat dan tanggung renteng di media cetak, radio, dan televisi nasional.
Akan tetapi, dalam salinan putusan hakim PTUN Jakarta, tindakan pemerintah disebut melanggar hukum, tanpa harus meminta maaf.
Media bisa saja kurang teliti melihat perbedaan antara petitum dan amar putusan di Situs Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta sehingga muncul berita putusan PTUN Jakarta memerintahkan Presiden Jokowi dan Menkominfo meminta maaf secara terbuka dalam kasus blokir internet di Papua dan Papua Barat.
Itu wajar saja dan tidak perlu dicurigai ada motif politik. Apalagi sampai—semoga tidak—medianya diancam-ancam. Sebagian besar sudah diralat. Jika kurang puas, bisa kirim hak klarifikasi atau hak koreksi ke media. Kalau mau sengketa, ke Dewan Pers. Sesederhana itu.
Lagipula pemberitahuan putusan dan minutasi baru kemarin, jadi kemungkinan besar masyarakat belum mengakses salinan putusan perkara nomor 230/G/TF/2019/PTUN.JKT tersebut (belum diupload di laman Putusan MA).
Tapi itu memang berita yang nilainya tinggi. Menyangkut seorang Presiden (Tergugat I) dan Menkominfo (Tergugat II). Objek gugatannya adalah perbuatan pemerintah sebagai objek TUN. Terjadi di wilayah Papua—yang sensitif membicarakannya akibat bias/ketidakadilan yang masih sering disuarakan hingga sekarang. Kasus yang terjadi di Papua juga selalu menjadi perhatian internasional.
Namanya saja berperkara di pengadilan, tentu fokus kita sebaiknya adalah pada substansi/materi. Bahwa PTUN Jakarta memutuskan perbuatan tergugat melanggar hukum.
Apa saja tindakan-tindakan Presiden Jokowi dan Menkominfo yang melanggar hukum itu?
- Throttling/pelambatan akses/bandwith di beberapa wilayah Papua Barat dan Provinsi Papua pada 19 Agustus 2019...
- Pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet secara menyeluruh di Provinsi Papua dan Papua Barat...
- Memperpanjang pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat...
Apa dasarnya melanggar hukum? Hakim merujuk pada aturan tentang asas-asas pemerintahan umum yang baik; dan Presiden Jokowi diputuskan melanggar aturan hukum tentang pemerintahan yang baik itu.
Mau berita media benar atau salah, yang jelas adalah eksepsi Presiden Jokowi dan Menkominfo tidak diterima, gugatan penggugat dikabulkan, pengadilan memutuskan tindakan Presiden Jokowi dan Menkominfo itu melanggar hukum, dan membayar biaya perkara secara tanggung renteng Rp457 ribu.
Ringan banget hukumannya? Pengadilannya ‘main’ kali? Oh, tidak begitu.
Pengadilan memutus perbuatan seorang Presiden dan Menteri melanggar hukum adalah patut diapresiasi—meskipun putusan belum berkekuatan hukum tetap karena mungkin ada upaya hukum lagi.
Bagi masyarakat luas, pesannya jelas: penguasa bisa salah! Presiden Jokowi tidak selalu benar. Tindakannya bisa dikoreksi baik lewat pengadilan—maupun nonpengadilan.
Sifat putusan PTUN Jakarta dalam kasus ini adalah declaratoir, yaitu menerangkan atau menyatakan apa yang sah. Dalam hal ini berarti tindakan Jokowi tidak sah berdasarkan putusan pengadilan. Itu yang harus menjadi poin penting. Bukan polemik di medsosnya. Dibela bagaimana pun di segala channel media, tindakan Presiden Jokowi tetap salah.
Menurut saya, tidak usah melayani debat soal salah berita itu lebih jauh lagi. Fokus saja pada substansi hukum. Lagi pula mulut bisa saja meminta maaf, tapi apa artinya jika kebijakannya buruk.
Lebih baik melakukan follow up atas putusan PTUN Jakarta itu dengan menggugat perdata Presiden Jokowi dan Menkominfo—dalam hal ini gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh penguasa di pengadilan umum.
Bila merujuk Pasal 1365 KUHPerdata, tiap perbuatan melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Ada PMH, ada kesalahan, ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan, ada kerugian. Itu semua bisa dibuktikan.
Para penggugat dan kawan-kawan di Papua tentu bisa menghitung dan menemukan apa kerugian yang dialami masyarakat Papua dan Papua Barat akibat tindakan Presiden Jokowi dan Menkominfo memblokir internet saat itu.
Jika itu dilakukan, bakal jadi pelajaran buat Presiden Jokowi supaya tidak gegabah membuat kebijakan. Menunjukkan pula bahwa di pengadilan, rakyat masih bisa melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Sebagai pendidikan politik juga bagi semua warga negara bahwa kebenaran tidak ditentukan oleh publikasi/pencitraan tetapi oleh bukti-bukti dan proses hukum.
Begitu saja.
Salam 5,6 Triliun
(Agustinus Edy Kristianto)