Ironi Alat Pelindung Diri Buatan Dalam Negeri
Oleh: Prof. drh. Wiku Adisasmito
(Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19)
Untuk kali pertama, Presiden Jokowi menyambangi markas besar Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di kawasan Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Rabu (10/6/2020).
Seluruh hasil kerja yang telah dilakukan oleh tim pakar, yang beranggotakan 95 ahli senior dan 27 pakar muda dari berbagai disiplin ilmu ini, kami paparkan di hadapan Presiden Jokowi.
Salah satu pencapaian yang kami sampaikan adalah keberhasilan Indonesia memproduksi alat pelindung diri (APD).
Baju hazmat berwarna putih yang selalu digunakan para tenaga kesehatan, baik dokter maupun perawat, memang menjadi perangkat penting yang harus dikenakan agar tidak terpapar oleh pasien Covid-19.
Kebutuhan akan APD memang langsung melonjak pesat seiring dengan peningkatan masyarakat Indonesia yang terpapar Covid-19.
Puluhan rumah sakit serta kantor-kantor dinas kesehatan di berbagai daerah di Indonesia mengeluhkan minimnya sarana APD terutama baju hazmat.
Tak heran, dalam beberapa kesempatan tayangan berita di televisi memperlihatkan para tenaga kesehatan di sejumlah daerah terpaksa menggunakan jas hujan plastik seharga Rp 10.000 untuk melindungi diri agar tidak terpapar Covid-19.
Padahal, jas hujan tersebut sangat tidak direkomendasikan dan jauh dari kata aman agar tidak terpapar Covid-19. Namun, pertimbangannya pasti daripada sama sekali tidak mengenakan alat pelindung.
Keterbatasan APD selama masa pandemi Covid-19 memang tak lepas dari ketergantungan Indonesia yang selama ini selalu mengimpor dari luar negeri.
Dalam situasi pandemi global yang dialami merata di berbagai belahan negara di dunia, tentu negara-negara yang selama ini mengekspor APD ke Indonesia otomatis akan membatasi kuota pengirimannya.
Hal itu tak bisa disalahkan karena mereka juga membutuhkan barang tersebut untuk mengatasi persoalan yang sama seperti dialami di Indonesia.
Hukum supply and demand pun akhirnya berlaku. Tingginya kebutuhan akan APD yang meningkat pesat berbanding lurus dengan kenaikan harga yang signifikan.
Jika sebelum terjadi pandemi Covid-19 harga normal hazmat hanya berkisar Rp 150.000, namun per April 2020 ketika pandemi mencapai puncaknya, harganya sudah melonjak hingga Rp 900.000.
Kami dari Tim Pakar dengan berbagai keahlian yang kami miliki tentu merasa terpanggil dengan situasi seperti ini.
Sudah sedemikian bodohkah bangsa ini sehingga untuk membuat baju hazmat sendiri saja kita tidak mampu?
Pada 3 April 2020 akhirnya kami menginisiasi untuk menjajaki kemungkinan memproduksi baju hazmat di negeri sendiri.
Rapat melalui sarana Zoom Meeting kami lakukan dari markas besar dari kantor BNPB.
Peserta rapat antara lain perwakilan dari Kementerian Perindustrian, perwakilan WHO di Indonesia, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ketua APSyFI, Ketua INWA serta beberapa tokoh lain yang ahli di bidangnya masing-masing.
Hasilnya ternyata positif. Pihak-pihak yang terkait menyatakan sanggup untuk memproduksi APD sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Satu hal yang mengharukan semua yang terlibat merasa terpanggil dengan situasi pandemi yang terjadi saat ini.
Sebagai langkah awal, protipe APD buatan sendiri dicoba diproduksi oleh beberapa pabrik tekstil yang ada di Bandung, Solo, serta Ungaran. Tak sampai sepekan prototipe hazmat pun sudah selesai dikerjakan.
Namun, barang ini tidak serta merta bisa langsung digunakan dan memberikan perlindungan tertinggi karena masih membutuhkan uji standar lagi yang diakui oleh WHO yaitu uji ISO 16604.
Contoh APD pun harus dikirimkan ke New York, AS. Tantangan kembali menghadang. Ternyata untuk mendapatkan pengesahan ISO 16604 dibutuhkan waktu sedikitnya dua bulan.
Kami pun meminta bantuan Kementerian Luar Negeri untuk memerintahkan Konjen RI di New York untuk mengawal proses rekomendasi ini bisa lebih cepat. Namun, lagi-lagi rintangan terjadi.
Contoh hazmat yang pertama dikirim ternyata gagal melewati proses pengujian dengan berbagai alasan. Contoh kedua pun dikirimkan dengan berbagai revisi yang telah dilakukan.
Alhamdulillah, hazmat produksi Indonesia pun bisa lolos uji ISO 16604 dengan waktu sekitar sebulan setelah mendapat kawalan ketat dari Konjen RI di New York.
Pengujian hazmat produk Indonesia pun bukan satu-satunya dilakukan di Amerika Serikat. PT. Sritex Solo juga mengirim contoh produksinya ke Hong Kong dan Singapura untuk diuji.
Begitu pula APSyFI juga mengirim contohnya produknya ke Taiwan. Ternyata seluruh produksi mereka sukses mendapatkan rekomendasi. Baju hazmat yang dihasilkan Indonesia ini bahkan dinilai lebih baik dan hemat.
Dengan menggunakan bahan baku utama polyester woven, hazmat produk anak negeri ini bisa jauh lebih hemat karena selain harganya bisa 50 persen lebih murah, pemakaiannya pun bisa mencapai 10 kali pakai.
Adapun produk impor yang selama ini digunakan sifatnya disposable atau sekali pakai buang, jadi sifatnya menyerupai popok bayi atau pembalut wanita yang hanya bisa sekali pakai.
Selain itu polyester yang menjadi bahan baku utama hazmat ini juga sudah bisa diproduksi di Indonesia. Dengan kata lain, seluruh proses produksi hazmat ini 100 persen asli dari Indonesia.
Dengan rekomendasi ISO 16604 yang telah dimiliki Indonesia sejak awal Juni 2020, maka kesulitan pengadaan APD yang selama tiga bulan terakhir secara teori akan bisa teratasi.
Para produsen tekstil yang tergabung di asosiasi-asosiasi itu pun menyangggupi untuk memproduksi sebanyak 17 juta unit hazmat per bulan.
Itu artinya jauh di atas kebutuhkan APD selama tiga bulan terakhir ini yang sekitar 5 juta unit per bulannya.
Sebagai bentuk penghormatan terhadap APD karya anak negeri ini, produk tersebut pun kami beri nama INA United.
INA berarti Indonesia, sedangkan United menggambarkan rasa persatuan dari berbagai kalangan yang merasa terpanggil atas pandemi yang kini tengah melanda Indonesia.
Namun semulus itukah jalan INA United untuk bisa digunakan oleh para tenaga medis yang kini menjadi garda terdepan penanganan pandemi Covid-19?
Sungguh ironis memang. Ternyata jalan yang harus dilalui tetap saja terjal dan berliku.
Ditolak Instansi Pengadaan APD
Surat penawaran yang disampaikan kepada instansi terkait yang diberi kewenangan oleh pemerintah dalam hal pengadaan APD untuk mengatasi pandemi di negeri ini ternyata tak serta-merta berkenan menerima kehadiran INA United yang jelas-jelas adalah anak kandung sendiri.
Predikat lulus ISO 16604 yang telah dimiliki, harga lebih murah, serta penggunaan yang lebih panjang, tak juga menjadi pertimbangan.
Produk impor dari China yang jelas-jelas lebih mahal serta masa pakai yang hanya sekali buang nampaknya sudah terlanjur membuat nyaman.
Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 memang tak memiliki kewenangan sampai sejauh itu. Kami hanya berupaya mengabdi sesuai dengan keilmuan yang kami miliki.
Produsen-produsen tekstil yang sebelumnya sempat bergairah karena mesin-mesin produksinya akan kembali berputar setelah lebih tiga bulan vakum, kini seperti kembali lunglai. Kami pun hanya bisa berkata maaf karena kewenangan yang terbatas.
Dengan rekomendasi yang telah dimiliki, kami pun membebaskan para produsen tekstil tersebut memasarkan secara langsung APD yang telah mereka produksi ke rumah sakit yang memerlukannya.
Padahal, dengan kapasitas produksi yang mencapai 17 juta unit APD per bulan, bukan suatu yang mustahil INA United juga bisa diekspor ke negara-negara yang saat ini juga tengah berperang melawan pandemi Covid-19.
Mungkin, ketika suatu hari nanti keran ekspor INA United itu akhirnya terbuka, padahal sebaliknya Indonesia lebih menyukai mengimpor APD dari luar negeri, maka di situ orang akan mulai tersadar ternyata ada yang janggal di negeri kita Indonesia tercinta ini.
(Sumber: Kompas)