[PORTAL-ISLAM.ID] Dampak badai virus corona ternyata lebih serius dari yang diperkirakan. Dalam analisa terbarunya, Menteri Keuangan Sri Mulyani meramalkan ekonomi kuartal II akan tumbuh minus 3,8 persen. Meski tumbuh minus, dia minta dimengerti. Kata dia, perolehan tersebut sudah lumayan. Soalnya di negara lain banyak yang sudah kena resesi.
Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani saat menggelar pertemuan online dengan jajaran Kementerian Keuangan, Jumat (19/6/2020).
Dalam pertemuan berkonsep Town Hall Meeting itu, Sri Mulyani bercerita macam-macam. Sesekali, dia curhat tentang pekerjaan yang menurutnya begitu berat. Adanya anjuran work from home atau bekerja di rumah membuat rumah dan kantor serasa tak bedanya. Jadi dia seperti bekerja tiada henti. 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu.
Soal APBN? Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu bilang keuangan negara saat ini mengalami tekanan yang sangat berat. Awalnya, dia memperkirakan, APBN 2020 akan sangat sehat. Dia memproyeksikan, defisit APBN 2020 ada di angka 1,76 persen dengan keseimbangan primer 0. Namun gara-gara ada pandemi, harapan itu jadi ambyar semuanya.
Untuk menangani pandemi virus corona pemerintah terpaksa harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 700 triliun. Akibatnya defisit APBN hampir mencapai 7 persen. Tak hanya menekan keuangan negara. Pandemi juga memporakporandakan segala sendi kehidupan. Mulai dari kesehatan, sosial, sampai ekonomi.
Karena itu, Sri Mulyani menyebut, pandemi ini dengan istilah perfect storm atau badai yang sempurna. Soalnya sudah bikin ekonomi ancur. Gara-gara corona banyak investor panik yang akhirnya membuat kurs rupiah bergejolak, saham merosot dan imbal hasil obligasi merosot.
Selain itu, aktivitas ekonomi terhambat karena ada pembatasan sosial. Dengan dampak itu semua, ekonomi di seluruh dunia diprediksi tumbuh negatif. Termasuk Indonesia.
Sri Mulyani pun memprediksi ekonomi kuartal II akan tumbuh minus 3,8 per sen. “Apakah di kuartal III dan IV kita mampu mulai memulihkan. Inilah tantangan yang kita hadapi,” kata Sri Mulyani.
Seminggu sebelumnya Sri Mulyani meramalkan ekonomi di kuartal dua akan tumbuh minus 3,1 persen. Menurut dia, hampir semua negara mengalami kontraksi pada kuartal kedua. Bahkan di berbagai negara sudah mengalami resesi atau pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Negara yang sudah mengalami resesi yaitu Inggris, Jerman, Prancis, Jepang dan Malaysia. “Kita masih beruntung. Pada kuartal I kita masih bertahan di 2,97 persen,” ujarnya.
Anjloknya ekonomi di kuartal II membuat Sri Mulyani merevisi pertumbuhan ekonomi 2020. Dari yang tadinya diramalakan tumbuh 2,3 persen di turunkan menjadi 1 persen. Dalam kondisi buruk, ekonomi tumbuh minus 0,4 persen. Angka-angka tersebut masih proyeksi sementara.
Perekonomian masih bisa lebih baik atau menjadi lebih buruk hingga akhir tahun nanti dilihat dari kebijakan dan langkah yang dilakukan pemerintah dalam penanganan dampak dari corona.
Selain itu, perekonomian juga akan ditentukan saat menurunnya penyebaran virus ini. “Semua tergantung kemampuan kita pulihkan ekonomi di kuartal II dan IV atau di semester II-2020 ini,” kata Sri Mul, saat menggelar rapat dengan Banggar DPR sehari sebelumnya.
Ekonomi tahun ini memang diramal memburuk. Tiga lembaga global memprediksi hal tersebut. Bank Dunia mengunakan istilah “Terburuk sejak Perang Dunia II” untuk menggambarkan suratnya perekonomian tahun ini. Sementara OECD menggunakan istilah krisis terburuk da lam 100 tahun terakhir. Adapun IMF menyebut sebagai krisis keuangan terburuk sejak krisis Great Depression (Depresi Hebat) 1930.
Proyeksi Sri Mulyani itu masih sedikit lebih baik dari proyeksi Bank dunia. Ekonom Senior Bank Dunia Ralph Van Doorn memprediksikan perekonomian Indonesia tidak tumbuh untuk tahun ini.
Menurut dia, perekonomian Indonesia akan terkontraksi hingga 3,5 persen.
Ekonom dari Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan, kontraksi di kuartal II sangat besar kemungkinan Indonesia masuk ke dalam jurang resesi. Kata dia, resesi sebenarnya tidak hanya karena pertumbuhan minus dalam dua kuartal berturut-turut. Resesi juga bisa terjadi karena terjadi penurunan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, manufaktur, hingga ritel. “Penurunan indikator berpotensi memperlambat kinerja ekonomi,” kata Yusuf. [BCG/RM]