DISUNITED STATES OF AMERICA
Slogan Donald Trump terinjak-injak di tengah gelombang penjarahan di seluruh pelosok United States of America (USA). “Make America Great Again” kini terancam menjadi “Make America Grain Again” (alias Membuat Amerika Menjadi Tepung Kembali).
Persis. Amerika Serikat (AS) menjadi tepung. Gara-gara perlakuan kejam terhadap George Floyd (GF). Warga kulit hitam ini mati di tangan seorang polisi kulit putih yang menangkapnya.
Rekaman video peristiwa ‘injak batang leher’ itu sangat dahsyat kekuatannya. Menyulut amuk massa yang luar biasa besar. Di seluruh Amerika. Selama berhari-hari. Disertai dendam penjarahan (looting).
Suasana saat ini sama seperti ketika pejuang hak sipil kulit hitam, Marthin Luther King Jr (MLKJ) terbunuh pada 1968. Bedanya, pada waktu itu, bentrokan yang terjadi adalah antara warga kulit hitam dan orang kulit putih. Sedangkan bentrokan yang terjadi hari ini adalah antara warga kulit hitam plus warga kulit putih lawan polisi dan tentara. Bahkan, kata Martin Luther King III, anak MLKJ, dalam unjukrasa 2020 ini lebih banyak orang kulit putih yang turun ke jalan ketimbang orang kulit hitam.
Tetapi, bagaimama pun juga, aksi ptotes kematian Floyd pastilah akan mengusik kembali hubungan rasial di AS. Dan bisa-bisa terjadi proses ‘rewind’ 1968. Meskipun ‘equality of rights’ (persamaan hak) dan ‘equality before the law’ (persamaan di mata hukum) di AS boleh dikatakan sudah terbangun kokoh.
Rasisme masih ada. Baik di lingkungan birokrasi, lingkungan pendidikan, maupun lingkungan bisnis. Begitu juga di bidang olahraga.
Banyak yang berpendapat bahwa di era Presiden Donald Trump ini, rasisme merasa mendapatkan siraman pupuk. Misalnya, di tengah pembicaraan tentang rasisme di AS sedang ramai saat ini, suara Trump tidak terdengar sama sekali. Sudah banyak perusahaan besar, manajer senior, atlet, politisi, dlsb, mencela keras rasisme.
Namun, Trump masih membisu. Padahal, dia sendiri dulu sering mengeluarkan ucapan yang bernada rasisme. Itu semua belum dia ‘delete’. Presiden memang menjanjikan bahwa keadilan akan ditegakkan dalam kasus Floyd. Tetapi, tidak ada kecaman dia terhadap peristiwa kekerasan ‘putih-hitam’ yang menunjukkan bahwa rasisme di AS masih belum padam.
Mungkin, itulah sebabnya dalam beberapa hari ini unjukrasa publik terarah ke Trump. Banyak orang yang menginginkan dia lengser. Tetapi, Trump juga punya pendukung yang kuat. Boleh jadi dia merasa rakyat AS masih setia kepadanya. Inilah yang masih perlu dilihat setelah hurahara kematian Floyd mereda.
Dalam situasi rumit seperti sekarang ini, biasanya presiden AS mana pun akan tampil mengutuk rasisme. Loud and clear. Keras dan lantang. Entah apa yang membuat Trump ‘mengurung’ diri dari perdebatan luas tentang hubungan rasial yang sedikit-banyak sedang terganggu saat ini.
Barangkali saja, Trump tidak menghiraukan dampak jangka panjang peristiwa ini. Presiden seharusnyalah melihat bahwa kematian Floyd bisa memantik perpecahan yang signifikan.
Konsekuensi Floyd tidak hanya “Make America Grain Again” tetapi bisa juga mendorong United States of America (USA) ke sisi Disunited States of America (DSA). Tentu bukan ‘union of states’-nya yang bubar, melainkan pengkotak-kotakan rasialnya yang mengeras lagi. Wallahu a’lam.
6 Juni 2020
By Asyari Usman
(Penulis wartawan senior)