Ada yang menegur saya di kolom komen atas postingan kemarin. Postingan yang judulnya "GIVING LIVING". Saya menyebut bahwa banyak diluar sana yang sudah putus asa. Beliau gak setuju, masak banyak yang putus asa?
Saya janji untuk menjawab dengan postingan. Saya janji nulis hari ini. Dan hari ini saya tulis. Tentang habisnya harapan sekelompok generasi. Asa yang sudah tiada. Harapan yang seakan pupus.
***
Melintas berita di Kumparan, seorang pemuda di Palmerah menusuk ketua RT gegara kesal ditegur. Jika saya bikin survey tentang apa pendapat Anda ketika membaca berita ini, pastilah jawaban paling sering adalah :
"Dasar anak nakal"
"Dasar generasi gak guna"
"Gak makan sekolahan, jadinya berandal"
Dan seterusnya, dan seterusnya...
Melihat berita ini, Saya membaca dengan sudut pandang yang berbeda.
Coba kita fikirkan bersama?
Anak muda nongkrong ribut-ribut nyanyi di jalan? Mengapa dia tidak di rumah?
Lalu mengapa dia bawa pisau? Lalu mengapa sekedar ditegur saja kok marahnya tetiba memuncak sampai menusuk?
Urusan tindakan ini kriminal, itu final. Silakan yang berwajib menangani dengan baik. Namun dari sudut pandang sesama anak bangsa, sesama generasi, mengapa beliau sampai begitu, setidaknya itu yang harus kita jawab.
***
Sudah lama saya perlahan berinteraksi dengan "generasi terpinggirkan". Awalnya di forum-forum kajian remaja masjid di kampung-kampung, lalu coba berbicara dengan mereka yang memang hidup di jalan.
Masalahnya mendalam,
Rumah sempit, tidak nyaman, saudara banyak, tetapi naungan pendidikan dari keluarga tidak ada.
Di sebagian kampung malah ibu atau bapaknya kerja di luar negeri. Sebagian anak bahkan diurus oleh nenek kakek yang serba terbatas.
Dari segi perhatian kehangatan keluarga hampir tidak ada.
Dari segi kemampuan ekonomi juga terbatas. Mau sekolah tinggi terhambat. Mau sekolah yang berkualitas adanya "sekolah negeri". Ya begitu, gak semua sekolah negeri sesuai harapan.
Kita sama-sama tahu. Isi 1 kelas buanyak, materi kurikulum seabreg. Para guru sudah empot-empotan ngajar, tetap aja gak masuk. Yang ini kita bahas di tulisan berbeda.
Mau sekolah tinggi kan gak bisa, akhirnya harus putus di SMA. Atau bahkan gak lanjut SMA. Selesai di SMP.
Ijazah segitu gak bisa buat cari kerja layak, bahkan gak dapat kerja. Kalo lowongan cleaning service aja ijazah S1 masuk, gimana yang SMP mau bersaing.
Akhirnya buntu. Jadi kuli kasar lagi. Jadi tenaga kasar lagi. Sama kayak orang tua mereka. Muter siklusnya.
Tapi hari ini tambah berat, beratnya di gempuran informasi.
Gadget ada, kuota murah. HP dan Youtube nya bukan barang mahal. Yang dilihat adalah para youtuber muda yang mobilnya mewah, bagi-bagi duit, hidup enak, collabs sama yang bening-bening, ini generasi pinggiran tambah murka.
Ujungnya, sebagian generasi yang umurnya mungkin sama kayak kita, sekarang lagi jadi generasi ngambek, generasi yang menyimpan kekesalan, generasi pupus harapan.
"Omong kosong bisa hidup bener lah kalo begini, udah nasib, pemerintah gak bisa diharapin, orang kaya juga gak bakal peduli, ya udah, hukum rimba lah,"
Akhirnya kerja kuli nggak, kerja kasar gak mau, jadi arus perlawanan akan keadaan. Kemana-mana bawa pisau.
Gak bisa eksis di kantor pake dasi, jadinya eksis nongkrong di ujung gang pake miras.
Masuk geng berandalan, berkarir dalam jenjang keanggotaan, lakukan kejahatan sebagai tangga naik karir. Kriminal total.
Semua ini ya akarnya itu : harapan yang gak ada. Marah sama keadaan. Dan kelompok generasi marginal ini makin mengkristal komunitasnya, betul-betul jerami kering yang siap dipantik kapan saja.
***
Membaca keadaan ini, disinilah rekayasa sosial harus dilakukan. Kiyai Luqmanulhakim menyebutnya sebagai "Save The Generation".
Beliau bangun gerakan infaq beras supaya pondok-pondok santri yatim penghafal Quran yang gratis-gratis itu bisa bertahan. Gak usah mikirin beras lagi. Di-supply gratis.
Sehingga anak-anak itu gak hidup dijalanan. Dibina oleh Ustadz, dibina oleh kiyai, hidup terdidik.
Lahir dari keluarga miskin itu memang taqdir ketetapan, tapi pilihan untuk berusaha menjadi generasi lebih baik, ITU HARUS ADA.
Opsi "berjuang" itu harus ada. Kalo opsinya ada, maka harapan akan ada lagi. Asa akan nyambung lagi.
"Bro, bokap nyokap lu miskin, kemampuannya nyediain fasilitas pendidikan untuk elu gratis. Lu bisa milih hidip di jalanan, atau lu nyantri di Munzalan Mubarokan, gratis. Lu bisa lanjutin siklus keluarga lu jadi pemadat lagi, atau lu ngafal Quran di pondok. Free. Lu punya pilihan."
Itu juga yang disampaikan oleh Kiyai Sandi Nopiandi yang menbangun 17 hektar lahan pondok integrasi untuk layani anak yatim. Kiyai Sandi bilang ke saya,
"Daripada anak-anak ini gak diurus, mending di urus disini, ane siap didik, jadi ayah, kita didik tauhid, ilmu kurikulum nasional, ajarin memanah, ajarin berkuda, gratis, kasih makan, sampai kuliah, mereka harus lebih baik dari generasi sebelumnya."
Makanya pesantren Mabda itu gratis. Karena itu adalah OPSI BERJUANG yang harus ada.
"Bapak ente udah gak ada, Ibu ente gak tau kemana, ente bisa milih hidup di jalan, atau mondok di Mabda Sukabumi, ngafal Quran, jadi orang bener, latihan kuda, latihan manah, bentuk karakter, gimana?"
Opsi ini harus ada. Gratis. Untuk generasi marginal ini.
Itu juga yang dilakukan Kiyai Syahid Fii Sabilillah dengan Masjid Kurir langitnya. Yang sekarang menampung 100 santri lebih. Gratis. Dengan lahan integral wakaf produktif seperti Mabda Sukabumi. Kali ini Kiyai Syahid bangun Kurir langit di Barru Sulsel.
Kiyai Syahid utarakan di sosmed,
"Kalo sekolah Islam masuknya berpuluh-puluh juta lagi, maka yang hanya bisa sekolah adalah yang kaya saja, Pondok Kurir Langit harus gratis, supaya semua generasi bisa akses pendidikan."
Ini opsi perjuangan yang kita harus kasih ke Generasi.
"Dek, kau nge lem terus di jalan boleh aja, kau bawa sajam bunuh-bunuhan di jalan itu pilihan, tapi ini ada Pondok Kurir Langit di Barru, kau bisa jadi orang, memilih untuk hidup benar. Gratis. Mau gak?"
Itu juga yang lagi dilakukan Kiyai Dewa Eka Prayoga, bangun Pondok di Cirebon. Abd Bin Auf. Gratis. Santrinya nanti dididik marketing, diajarin konsep dunia digital. Konkret. Selain hafak Quran, tauhid kuat, fiqh ngerti, tapi juga bisa survive dengan kompetensi digital.
"Ente mau nongkrong di jalanan kagak bakalan jadi duit, kecuali ngerampok, udah aja belajar di Pondoknya Kiyai Dewa sono, belajar cari duit.."
Pilihan itu harus kita buka.
***
Itulah tujuan dari saya nulis postingan ini. Jangan vonis dari satu sudut pandang saja. Anak muda yang menusuk ini jelas saudara segenerasi dengan saya juga. Satu generasi sebagai anak bangsa, saudara kita ini korban dari sistem yang bikin mereka putus asa dan marah. Memang dibuat jadi penjahat secara sistem. Maaf saya ngomong apa adanya.
Akses pemukiman harus kita solusikan perlahan. Kalo ada niat sebenernya gampang. Zaman kejayaan Islam pemukiman itu banyak wakaf. Kalo gak punya rumah, ada rumah wakaf. Boleh ditinggali. 1/3 Damaskus itu pernah jadi asset wakaf. Baca kitab Ar Rihlah Ibnu Batutah.
Akses kepada pendidikan harus terbuka. Ada yang berbayar ya silakan. Memang organization modelnya berbayar. Tapi yang gratis dan bagus harus ada. Bukan gratis tapi blangsak, ya outputnya error lagi. Para kiyai Muda diatas udah ngerjain itu. Bikin gratis dan bagus. Datang aja ke pesantren mereka. Lihat sendiri.
Saat ini ya bagi-bagi peran. Kami di Berkah Box memilih jalan sediain makanan.
"Ente nongkrong di jalanan gak dapat makan, nongkrong di masjid aja, ada nasi box."
"Kalo laper jangan nge begal, kalo perut keroncongan jangan nyopet, di mari nih, ada nasi box, gratis, kagak usah pake registrasi online, tinggal makan..."
"Ente kagak usah minta nyokap nyediain makanan ini itu, emak ente pusing banyak tagihan, udah makan aja di masjid, tiap hari ganti menu, boleh dah... Tiap hari juga.. Makan di sini.. Di masjid.."
Begitu....
Bagi-bagi peran, intinya setiap kita harus bekerja. Bekerja memperhatikan lingkungan. Bekerja membangun kualitas kehidupan bersama.
Ini tentang harapan.
Ini tentang asa.
Ini tentang pilihan juang yang harus ada.
Semoga Harapan itu terus ada.
20 Juni 2020
___
Berkah Box Movement
Donasi Nasi Box WA • 0811 • 216 • 8676 •
GIVING LIVING Seorang mahasiswi masuk sebuah cafe donat. Memesan donat dan segelas kopi. Sesampainya ia di meja, ia...
Dikirim oleh Rendy Saputra pada Kamis, 18 Juni 2020