Kepada beberapa teman yang berkata, percuma melontarkan kritik terhadap Presiden Jokowi/pemerintah mengenai Kartu Prakerja sebab tidak akan didengar, saya ucapkan terima kasih atas masukannya.
Itu memang betul.
“Mendengarkan” berarti memgasumsikan bahwa lawan komunikasi memiliki telinga. Jika tidak, bagaimana pula caranya mendengar?
Sejak awal berkuasa—terutama pada periode kedua—saya memang mulai sedikit-sedikit mengamati karakter dan perilaku kepemimpinan Kepala Negara/Kepala Pemerintahan (Presiden Jokowi).
Ungkapan Jawa yang keluar tak lama setelah pelantikannya adalah: “Lamun sira sekti aja mateni”. “Lamun sira banter, aja ndisiki”. “Lamun sira pinter, aja minteri”.
Kalau kamu sakti, jangan membunuh. Kalau kamu cepat, jangan mendahului. Kalau kamu pintar, jangan memintari orang lain.
Dari situ saya mulai pasang deteksi dini tsunami.
Mengapa filosofi yang dipeluk justru itu? Mengapa tidak etika Jawa yang lain seperti “eling lan waspada”, “sepi ing pamrih rame ing gawe”, “andhap asor”, “ojo dumeh”...
Saya juga orang Jawa. Orang Solo. Sama seperti Presiden. Rumah saya juga di Sumber.
Saya pun membaca Benedict Anderson tentang konsep kekuasaan Jawa.
Setidaknya saya tahu bahwa dalam konsep tersebut, kekuasaan adalah terpusat. Penyatuan kosmos dalam diri raja—yang bersifat adikodrati. Dilanggengkan dalam simbol-simbol untuk melambangkan betapa ‘suci’ kekuasaan itu.
Ucapan raja adalah hukum itu sendiri. Sabda pandita ratu. Ludah api!
Saya gambarkan teori tersebut untuk menjadikannya sebagai bahan berpikir bagi siapa saja yang menyimak kritik terhadap Kartu Prakerja—yakni pada komponen biaya pelatihan dengan membeli klik video di platform digital berbiaya Rp5,6 triliun.
Hampir semua kalangan sudah bersuara—sebagian besar menentang.
43,8% responden Litbang Kompas berpendapat tidak yakin Kartu Prakerja dapat membantu pencari kerja mendapatkan pekerjaan di tengah wabah COVID-19.
Publikasi Ismail Fahmi (23 April 2020) berjudul: “Kartu Prakerja: Polemik dan Diskursus Publik” menunjukkan di Facebook, ada 4.912 engagement dan pola shares pembahasan sebanyak 3.202 kali terkait Kartu Prakerja. Warga Facebook merasa BLT lebih dibutuhkan ketimbang pelatihan daring yang tak jelas manfaatnya.
Di Twitter, ada 112.899 mention dan pola retweet percakapan dengan 94.300 mention, yang didominasi penolakan terhadap Kartu Prakerja dan desakan agar mengalihkan dana pelatihan ke bantuan langsung tunai.
Di parlemen, kecuali Golkar, fraksi lain menentang, dengan alasan masing-masing.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) tak berhenti mendesak supaya program Kartu Prakerja dievaluasi.
Pelaksanaan Kartu Prakerja hingga dua gelombang ini pun berantakan. Kekecewaan peserta merebak di mana-mana—terutama tidak jelasnya kapan insentif dicairkan.
Per status ini ditulis, saya belum menerima insentif Rp600 ribu itu, padahal dijadwalkan cair 12 Mei 2020.
Saya ‘beruntung’ bisa masuk ke dalam sistem sebagai peserta sehingga bisa memantau langsung ketidakberesan di lapangan.
Data juga berantakan dan tidak jelas.
Sebelum 27 April 2020, Pusat Data dan Informasi Kementerian Tenaga Kerja memang memiliki data pekerja yang terkena PHK, tetapi tidak dirinci per sektor. Tidak update.
Baru tanggal 27 April 2020—saya memegang suratnya—ada surat dari Kemenaker kepada pengusaha dan asosiasi yang meminta data rinci (nama, alamat, sektor, jabatan) pekerja yang di-PHK. Makanya pemerintah bisa dapat angka 1,7 juta yang diumumkan beberapa hari lalu.
Apa peran platform digital di dalam ekosistem yang kacau itu? Padahal anggaran Rp5,6 triliun dialokasikan untuk pembelian video di sana.
Tidak ada—kalau pun ada, sedikit dan tidak penting.
Mereka hanya aplikasi. Ya, marketplace tempat memajang video-video yang dijual untuk dibeli peserta yang dikasih sangu oleh negara, lantas mereka menarik komisi dari situ.
Apa mereka punya kantor perwakilan daerah untuk mendata sasaran program? Tidak.
Apa mereka punya sistem, SDM, dan kucuran dana untuk membina lembaga pelatihan? Tidak.
Apa mereka punya basis data korban PHK? Tidak.
Apa mereka berwenang melakukan akreditasi lembaga pelatihan? Tidak.
Apa mereka punya standar kurikulum untuk menentukan program apa yang sesuai dengan kebutuhan industri? Tidak.
Apa mereka punya sistem pemagangan dan penempatan kerja bagi peserta? Tidak.
Apa mereka punya wewenang menerbitkan sertifikat kompetensi? Tidak.
Mereka cuma punya akta badan hukum, website, template sertifikat, dan sistem untuk melakukan transaksi pembayaran (payment gateway). Hal standar saja seperti marketplace pada umumnya. Mudah membuat itu semua.
Hingga sekarang, tak ada satu pun pernyataan Presiden Jokowi yang relevan untuk menjawab suara mayoritas masyarakat penolak kegiatan jual-beli klik video itu.
Kelihatannya, masalah sudah terlalu dalam menusuk ego yang bersangkutan. Entah represi pengalaman masa lalu apa yang ditekan, cukup terlihat kecenderungan otoritarianisme dan dominasi itu ada.
Ini bukan lagi masalah nalar dan value for money.
Apa pun alasannya, pokoknya Kartu Prakerja ini program andalan yang tidak boleh ada orang yang sok pintar mengajari saya. Kasarnya mungkin begitu.
Lamun sira pinter, aja minteri!
Tidak mudah berhadapan dengan ‘absolutisme ego’ pada orang-orang semacam ini.
Tapi, sekadar untuk relaksasi sejenak, biasanya kita perlu mengembalikan orang-orang semacam itu ke habitatnya—tempat dan suasana yang bikin mereka merasa senang dan serasa menjadi bagian pokok dari kebahagiaan kosmos.
Apa itu?
FOTO!
Saya lampirkan foto headline Kompas edisi hari ini (Kamis, 14 Mei 2020), saat Presiden Jokowi melihat-lihat rakyat penerima bansos tunai Rp600 ribu di kantor pos Kota Bogor; dan foto—saya ambil dari Google Images—ketika menunjukkan kartu Prakerja kepada massa yang tengah mendengarkan kampanyenya tahun lalu (foto atas).
Kemeja putih lengan panjang. Sepatu kets. Celana panjang hitam. Bersama rakyat kecil. Bendera merah putih. Peci hitam.
Pesannya bisa kita tangkap:
Sederhana, berkuasa, dan berlipat ganda!
Salam 5,6 Triliun.
(By Agustinus Edy Kristianto)