SALAH BESAR KARTU PRA KERJA JOKOWI


SALAH BESAR

Salah besar kalau Presiden mengabaikan suara-suara tajam yang mengiris telinga pemerintah.

Salah besar kalau hanya menghirup minyak wangi dan menelan fiksi dari orang sekeliling yang sudah kenyang.

Orang kenyang berpikir bagaimana caranya supaya mereka tidak lapar. Sesederhana itu.

👉Sekarang 3 juta orang lebih berstatus PHK—menurut data terbaru dari Menteri Tenaga Kerja.

👉95% keluarga stres akibat pandemi dan pembatasan sosial—menurut survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) April-Mei 2020.

👉Mereka sedih, cemas, sulit tidur, memengaruhi nafsu makan, menimbulkan rasa putus asa, hingga ada yang berpikir untuk bunuh diri!

👉1.201 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.526 kekerasan terhadap anak selama 1 Januari - 12 Mei 2020—menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Itu semua bukan dongeng.

Sekarang, bukan hanya perut yang tak bisa makan melainkan martabat kemanusiaan dan kepercayaan diri sebagai suatu bangsa berada dalam kondisi sekarat.

Dan rakyat butuh kepemimpinan Presiden yang berwibawa untuk memukul mundur masalah itu.

⚡️Saya—dan orang-orang yang sekepala—menunjukkan dengan tegas satu titik di mana kewibawaan Presiden sebagai pemimpin negara anjlok dan berantakan bagai piring pecah.

❌Karena Presiden tak berkutik di hadapan kekuatan yang menghendaki bisnis jual beli video pelatihan Rp5,6 triliun melalui platform digital mitra Kartu Prakerja tetap berlangsung.

👉Presiden membiarkan. Presiden malah mempromosikan.

Itu berarti Presiden ambil bagian dalam pesta dansa.

Ironisnya, di belakang beberapa perusahaan platform digital itu adalah korporasi-korporasi besar (Over The Top/OTT) yang harusnya diburu oleh negara sebagai objek pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Jika memakai skema physical presence, mereka layak dijerat. Sebab selama ini mereka mendapatkan manfaat ekonomi dari bisnisnya Indonesia—tak peduli kedudukan perusahaannya di mana pun juga.

Mereka salah satu penyumbang  besarnya angka defisit pajak negara ini!

Tidak ada risiko yang perlu ditakuti jika Presiden menghentikan program pemberian bantuan biaya pelatihan Rp5,6 triliun yang berpotensi bikin gendut rekening platform digital. Kalau mereka melawan balik, kita hadapi.

Kini fokus saja sefokus-fokusnya pada penyaluran jaring pengaman sosial pekerja/korban PHK—40% rumah tangga kelompok menengah dengan pengeluaran Rp3,12 juta - Rp6,38 juta/RT/bulan, yang tidak menerima bansos.

Omong kosong itu namanya investor digital 4.0 pada saat ini. Softbank hancur lebur. Alibaba remuk. Balon sudah pecah dan sekarang mereka megap-megap dalam kehampaan.

Hakikat dan tujuan investor di bisnis ini juga sebetulnya bukan digital an sich melainkan menggunakan start-up/digital untuk menguasai sumber daya dan market Indonesia yang sangat besar—di sektor apa saja.

❌Begitulah pola donasi politik era milenial untuk menjalankan skema ketergantungan para penyelenggara negara. Seolah-olah membantu pemerintah suatu negara mencapai tujuan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bidang digital dan pendidikan, tetapi sesungguhnya di balik itu adalah cengkeraman untuk menguasai domain pengambilan kebijakan publik, dari hulu ke hilir.

Kita bisa belajar dari Kochtopus (Koch Industries) di Amerika Serikat, yang pada satu dekade terakhir menjalankan donasi politik model begitu, untuk menguasai politik AS.

Mereka bercokol kuat karena pemerintah melindungi. Kalau tidak ada perlindungan, mereka bak ayam sayur.

👉Tarik alokasi uang Rp5,6 triliun itu ke kas negara. Kemudian pikirkan skema baru supaya penggunaannya tepat guna.

Tak perlu membuat publikasi yang manipulatif dengan mengatakan bantuan biaya pelatihan itu untuk kepentingan peserta.

Itu tidak jujur.

Platform-platform digital itulah penyedia barang/jasa yang sesungguhnya.

Itu bisa dibuktikan dari lampiran dokumen surat pernyataan penyelesaian PRESTASI PEKERJAAN yang ada dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Sikap dan suara dalam cluster ini memang setajam belati.

Tapi kami berkata yang sesungguhnya.

Bukan membangun dongeng dan pembenaran untuk mempertahankan kursi dan perut yang kekenyangan.

Salam 5,6 Triliun.

(By Agustinus Edy Kristianto)

Baca juga :