(Tiga Serangkai Program Karu Pra-Kerja)
BERITA tentang tuduhan pencemaran nama baik (kasus Farid Gaban), penghinaan (kasus warga Cianjur yang mencuit soal pendidikan Presiden Jokowi), makar (kasus diskusi di Yogyakarta), sampai ancaman pembunuhan (kasus wartawan Detik) lagi hangat.
Sayang sekali, padahal pada saat sulit karena pandemi seperti sekarang, cerita yang ‘dibutuhkan’, menurut saya, adalah tentang solidaritas dan gagasan bagaimana supaya kita semua bisa cepat bangkit dan pulih.
Saya tidak tahu secara detail apa yang sebenarnya terjadi di balik berita-berita itu sehingga tidak bisa menanggapi lebih jauh. Tetapi banyak yang bertanya dan khawatir apakah saya mengalami tekanan/‘teror’ yang sama.
Para advokat di kantor dan teman-teman saya yang pengacara pun ‘mengaudit’ tulisan dan aksi saya untuk mencermati adakah potensi pelanggaran pidana dan bagaimana antisipasinya. Salah satunya adalah ketika ada beberapa berita yang menyinggung dugaan saya memalsukan data/identitas ketika melamar peserta Kartu Prakerja.
Sejak dulu saya memang tidak pernah sok jago beraksi sendirian. Tulisan yang muncul memang ide saya sepenuhnya, tetapi saya selalu berdiskusi dengan tim pengacara sebelum saya lansir. Saya juga kadangkala bertanya kepada jaringan wartawan tentang posisi suatu isu. Begitu juga sering kali saya mengecek ulang posisi suatu perkara kepada relasi saya di kalangan penegak hukum maupun LSM. Bahkan dengan jaringan pelaku industri internet dan praktisi IT pun saya kerap meminta masukan. Kalau soal peta politik, sisa-sisa polarisasi 01 dan 02 dan sejenisnya, tidak perlu saya tanya, seabrek yang beri masukan. Banyak kenalan saya di dua kubu itu.
Walakin, kewaspadaan dan kehati-hatian sangat perlu, sebab isu Salam 5,6 Triliun ini masuk kategori isu politik yang sensitif dan bernilai uang besar. Sejauh ini, tekanan-tekanan terhadap saya, puji Tuhan, tidak ada. Biasa-biasa saja. Tidak tahu kemudian hari bagaimana.
Kalau boleh menaikkan hati, hingga hari ini—46 hari sejak pertama kali saya mengkritik Kartu Prakerja 16 April 2020—tidak ada tersiar satu alasan pun yang kuat dari pemerintah yang bisa membenarkan penggunaan anggaran negara Rp5,6 triliun untuk membeli video pelatihan di 8 platform digital, sebagai salah satu dari tiga komponen biaya Kartu Prakerja (selain insentif mencari kerja Rp600.000 dan insentif pengisian survei Rp150.000).
Pendapat lembaga-lembaga negara seperti KPPU, Ombudsman RI, semua fraksi di DPR—kecuali Golkar—BPK (yang akan menjadikan objek pemeriksaan pada semester 2 tahun ini) dan sebagainya makin menguatkan tidak pentingnya kegiatan beli video Rp5,6 triliun itu.
Bahkan kalangan pengusaha seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) pun—kalau mau kita tafsirkan sebagai penyerap tenaga kerja—tidak setuju dengan model pelatihan dengan cara membeli video di 8 platform digital memakai uang negara. Mereka malah merekomendasikan pemberian bantuan tunai langsung.
Peneliti ekonomi seperti INDEF, bisa dilacak sendiri jejak beritanya, sering sekali melontarkan hitung-hitungan ekonomi yang menunjukkan tidak ada artinya secara ekonomi mengalokasikan dana Rp5,6 triliun untuk beli video pelatihan.
Ingat, sekarang masa sulit, value for money dari keuangan negara menjadi lebih penting. Apalagi utang negara sudah mencapai Rp1.400-an triliun per tahun ini. Situasi ini seharusnya melipatgandakan arti pentingnya empati dan kepekaan sosial dari penyelenggara negara (terutama Presiden Jokowi) terhadap kebutuhan yang berdasarkan kondisi riil penderitaan masyarakat.
Orang banyak berdebat tentang new normal dan segala hal teknisnya—ini penting juga—tetapi lupa menyadari pentingnya pelipatgandaan rasa malu ketika menghadapi kelesuan akibat pandemi.
Jika melihat Jepang—meskipun belum 100% dikatakan berhasil mengatasi dampak ekonomi akibat COVID-19 dan tanpa mengabaikan pentingnya data riil penularan dan protokol kesehatan—mereka memutuskan untuk mengakhiri keadaan darurat di seluruh negeri tersebut pada 25 Mei 2020 (keadaan darurat dimulai 7 April 2020) dan menambah stimulus ekonomi yang totalnya hampir US$ 3 triliun.
Kompas (26/5/2020) menulis begini:
“Keadaan darurat di Jepang tak diikuti sanksi bagi pelanggar aturan diam di rumah atau jaga jarak. Status itu hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah sebagai pihak yang berhak menetapkan keadaan darurat untuk membeli aneka kebutuhan tanpa harus mematuhi prosedur normal. Jepang mengandalkan HUKUMAN SOSIAL oleh masyarakat dan BUDAYA MALU yang amat tinggi.”
Rasa malu, Pak Jokowi, Pak Airlangga Hartarto, Bu Sri Mulyani...
Salam 5,6 Triliun.
(By Agustinus Edy Kristianto)