[PORTAL-ISLAM.ID] Bulan Desember dan hari raya Natal masih jauh. Namun di beberapa titik di Kota Jakarta dan Bogor sudah muncul seorang sinterklas.
“Sinterklas” yang datang kepagian ini membagi-bagikan paket sembako kepada sejumlah warga yang ditemuinya di pinggir jalan.
Tampilannya sangat beda dengan Sinterklas yang dikenal dalam cerita rakyat di Eropa.
Sinterklas versi Indonesia ini tidak mengendarai kereta salju yang ditarik oleh rusa.
Dia mengendarai mobil mewah berbentuk limousin, dan dikawal sejumlah pasukan bersenjata. Beda sekali dengan Sinterklas yang biasanya hanya ditemani oleh Piet Hitam.
Pakaian yang dikenakan Sinterklas yang sesekali muncul di tengah pandemi ini sangat sederhana. Hanya mengenakan pakaian “kebesaran” berupa kemeja putih dan celana hitam.
Biasanya seorang Sinterklas (Santa Claus) digambarkan mengenakan jubah tebal dan topi kerucut berwarna merah. Berjanggut putih, lebat dan panjang.
Satu lagi perbedaan yang sangat mencolok adalah cara membagikan hadiahnya.
Santo Nicholas, Sinterklas yang asli —hidup pada abad keempat Masehi di kawasan Myra, Turki—membagikan hadiahnya secara sembunyi-sembunyi.
Dia senang memberi kejutan, membahagiakan kaum miskin dan papa. Mereka tak perlu tahu siapa yang memberi.
Sinterklas Indonesia, senang menampakkan diri.
Dia selalu membuka jendela mobil. Menebar senyum kepada warga yang mengelu-elukannya.
Pada tas sembako yang dibagikan juga tertera jelas logo dan tulisan, dari siapa sumbangan itu berasal.
Tampaknya sang Sinterklas ingin memastikan, warga tahu siapa yang membagi-bagikan hadiah.
Melihat dari ciri-cirinya, dapat dipastikan figur yang muncul bagi-bagi sembako di pinggir jalan itu bukanlah Sinterklas yang asli.
Dari mobil yang digunakan, pengawalan ketat, dan wajahnya yang terlihat sangat jelas, sosok itu dapat dipastikan adalah Jokowi.
Ya benar Presiden Republik Indonesia yang beberapa bulan lalu terpilih dan dilantik untuk periode kedua.
Sebutan perilaku Jokowi mirip Santo Claus itu berasal dari seorang netizen.
Dia mengunggah video rombongan Presiden Jokowi yang tengah membagi-bagikan sembako di Bogor, Ahad (26/4).
“Pak @jokowi, you were not elected to be a santa claus!,” cuit Joel Picard melalui akun @sociotalker.
“Pak Jokowi Anda tidak dipilih untuk menjadi seorang Santa Claus!,” cuitnya sambil memention akun resmi Presiden Jokowi.
Cuitan ini kemudian ditanggapi oleh mantan Menteri Perkonomian Rizal Ramli.
“Wong Presiden punya banyak kekuasaan untuk membuat rakyat hidup lebih baik. Lho ini kok mau niru Santa Claus? Sebegitu haus pengakuan kah,” cuit akun @RizalRamli dengan emoticon tersenyum lebar.
Sudah berulang kali
Bukan hanya kali ini saja Jokowi kedapatan bagi-bagi sembako, pengangan ringan, bahkan uang di pinggir jalan. Aksi semacam ini sudah menjadi merek dagang Jokowi.
Pada bulan Maret 2017 ketika berkunjung ke Kabupaten Madina, Sumatera Utara, Jokowi melempar-lemparkan makanan ringan dari dalam mobil.
Warga yang menyambutnya di pinggir jalan berebutan memungut.
Perilaku Jokowi itu mendapat kecaman luas dari nitizen dan pengamat. Politisi Gerindra Permadi menyebutnya sebagai penghinaan terhadap rakyat.
Kalau mau bagi-bagi hadiah, mbok ya turun kek dari mobil. Serahkan langsung. Salami. Ajak warga bercakap-cakap. Pasti nilainya jauh lebih berharga dibanding harga penganan yang dibagikan, sekalipun berasal dari seorang presiden.
Gaya Jokowi mengingatkan kita pada masa kerajaan, atau masa feodal zaman doeloe. Bukan seorang presiden yang terpilih melalui proses demokrasi.
Masih di tahun yang sama, pada bulan Januari saat berkunjung ke Pekalongan, Jawa Tengah, Jokowi juga melempar-lemparkan payung dari dalam mobil.
Saat berkunjung ke Maluku bulan Februari 2017, Jokowi juga melempar-lemparkan hadiah kepada warga yang menyambutnya.
Tak lama setelah terpilih menjadi Presiden, pada bulan Januari 2015, Jokowi bersama putranya Kaesang Pangarep bagi-bagi uang dan kaos ke sejumlah tukang becak di Solo.
Jokowi kembali bagi-bagi uang ke tukang becak ketika berkunjung ke Kota Yogyakarta pada bulan Maret 2015.Bagi-bagi uang, jajanan, sembako, sepeda, atau apapun bentuknya —kendati sangat dikecam— bisa dipahami dalam konteks sebuah kampanye.
Saat itu Jokowi baru terpilih. Dia ingin terpilih kembali menjadi presiden.
Anda boleh tidak setuju! Begitulah caranya berkampanye, pencitraan, agar terkesan merakyat. Begitulah lah persepsi Jokowi tentang “merakyat.”
Toh terbukti dia “terpilih” kembali untuk periode kedua.
Masalahnya saat ini situasinya sangat berbeda. Jokowi (seharusnya) tidak sedang berkampanye. Bangsa kita, termasuk dunia, sedang menghadapi masalah besar.
Belum lagi cara Jokowi melakukan sangat-sangat tidak bijak. Saat ini di Jakarta dan Bogor sedang diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Pergerakan dan kerumunan orang dalam jumlah besar sangat dibatasi. Warga diminta tetap di dalam rumah.
Gubernur DKI Anies Baswedan juga sudah mengingatkan. Jangan membagi-bagikan bantuan, sedekah di pinggir jalan.
Perilaku itu bisa mendorong warga berkerumun, dan berdesak-desakan di pinggir jalan. Risiko penularan Covid-19 sangat besar.
Soal ini Jokowi seharusnya sangat tahu. Bukankah kebijakan PSBB juga diputuskan oleh Menteri Kesehatan yang nota bene adalah pembantunya di kabinet.
Jokowi harus mendukung. Memberi contoh. Bukan malah mengabaikan, melecehkan, apalagi mengacaukannya.
Ini bukan kali pertama Jokowi mengabaikan kebijakan social distancing yang nota bene diberlakukan oleh pemerintah. Sehari sebelum pemberlakuan PSBB di Jakarta (10/4) Jokowi dalam perjalanan menuju Bogor membagi-bagikan sembako ke warga Jakarta.
Sehari kemudian Jumat (11/4) dia kembali bagi-bagi paket sembako secara langsung ke warga di Bogor.
Akibatnya Sabtu (12/4) malam warga berduyun-duyun mendatangi Istana Bogor. Mereka menduga akan ada pembagian sembako kembali
Benar akibat PSBB banyak warga yang mengalami kesulitan. Mereka membutuhkan bantuan.
Sudah ada mekanisme pemberian bantuan, baik melalui kementerian di tingkat pusat, sampai kepala daerah.
Di beberapa daerah sejumlah bupati, bahkan sampai kepala desa sudah berteriak-teriak, karena tidak jelasnya mekanisme pemberian bantuan.
Koordinasi antar-kementerian acakadut. Yang satu menegasikan yang lain.
Para kepala daerah, bahkan aparat desa merasa diadu domba dengan rakyat.
Pemerintah pusat dan provinsi menjanjikan adanya bantuan. Meminta rakyat tenang. Tapi ternyata bantuan yang tiba tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Di tengah situasi semacam itu, tiba-tiba Jokowi muncul bagi-bagi paket sembako. Jadi Sinterklas. Dewa penyelamat rakyat yang tengah kesusahan.
Apakah Presiden tidak tahu ada seorang bupati yang saking kesalnya menyebut para menteri dengan kata-kata tak pantas “Goblok!”
Apakah tidak ada yang melaporkan kepada Presiden, seorang kepala desa di Subang, Jabar memintanya untuk berhenti memanfaatkan bencana untuk pencitraan?
Coba sekali lagi kita amati video Jokowi yang tengah beredar luas. Senyumnya yang mengembang, menyadarkan kita, Presiden sepertinya tidak menyadari realitas yang tengah terjadi.
Dia tengah asyik dalam dunianya sendiri. Lepas dari realitas yang tengah dialami rakyatnya.
Apa yang salah?
Kalau kita masih mau berbaik sangka, ini semua bukan salah Jokowi. Barangkali ini adalah efek lockdown terlalu lama di balik tembok istana.
Presiden hidup dalam realitasnya sendiri. end.
Penulis: Hersubeno Arief